Petunjuk-petunjuk demi tercapainya
kemanusian yang berbudaya dan beradab
1. ”Resi Narada berucap :
Wahai Raja yang kuhormati,
ada sementara Brahmana yang sangat tertambat pada perbuatan-perbuatan yang menghasilkan pahala,
ada Brahmana yang terikat kepada tata-cara dan berbagai tapa-brata,
dan walaupun demikian,
ada juga sebagian kecil yang melestarikan ilmu pengetahuan
dan mengajarkan berbagai bentuk yoga, khususnya bhakti-yoga.”
2. ”Seseorang yang menghasratkan pembebasan dirinya
atau bagi leluhurnya
harus memberikan dana-punia kepada seorang Brahmana yang telah menyatu dengan Yang Maha Esa (Jnana-nistha, yaitu yang telah meninggalkan ikatan-ikatan materi duniawinya).
Seandainya Brahmana dengan status yang agung ini tidak dapat ditemukan maka dana-punia ini dapat diberikan kepada seorang Brahmana yang terbius oleh aktifitas-aktifitas yang menghasilkan pahala (karma-kanda).”
3. ”Pada saat menghaturkan persembahan kepada para dewa-dewi, seseorang harus mengundang 2 orang Brahmana, dan sewaktu menghaturkan persembahan kepada para leluhur (pitra-karya, pitra-yadnya),
maka seseorang boleh mengundang tiga orang Brahmana.
Atau untuk kedua bentuk pelaksanaan ini seorang Brahmana sebenarnya sudah memadai.
Walaupun seseorang itu teramat kaya-raya,
ia sebaiknya tidak memaksakan diri untuk mengundang lebih banyak Brahmana ataupun menghambur-hamburkan biaya yang besar demi terselenggarakannya upacara-upacara tersebut.”
4. ”Seandainya,
seseorang ingin menghaturkan persembahan dalam jumlah yang besar kepada para Brahmana atau keluarganya di saat mengadakan upacara sradha, maka akan timbul berbagai kemubaziran yang berhubungan dengan waktu,
tempat,
kehormatan dan bahan-bahan untuk santapan,
dan juga tata-cara penghaturkan upacara.”
5. ”Seandainya seseorang mendapatkan sebuah kesempatan dan lokasi yang sangat tepat (untuk sebuah upacara), maka ia harus, penuh dengan cinta-kasih, menghaturkan sesajen yang dipersiapkan dengan mentega murni (ghee) kepada Yang Maha Esa
dan lalu kepada seseorang yang seharusnya menerima yaitu seorang vaisnawa (pengikut Kresna atau Maha Vishnu dan semua reinkarnasiNya),
atau kepada seorang Brahmana.
Hal ini akan menghasilkan suatu kehormatan yang bersifat abadi.”
6. ”Pemuja tersebut harus menghaturkan sesajen kepada dewa-dewi,
kepada para kaum suci,
para leluhur,
orang-orang pada umumnya,
kerabat,
keluarga dan teman-teman beserta para relasi,
dan menganggap mereka semua ini sebagai pemuja Tuhan Yang Maha Esa.”
7. ”Seseorang yang sadar secara total akan prinsip-prinsip keagamaan seharusnya tidak menghaturkan sesajen dalam bentuk daging hewan,
telur ataupun ikan,
sewaktu melaksanakan upacara shradha. Sewaktu suatu jenis makanan disajikan dengan tambahan ghee (mentega murni) kepada para kaum suci,
maka pelaksanaan ini akan menyenangkan hati para leluhur dan Yang Maha Esa,
mereka ini tidak pernah senang sewaktu hewan-hewan dibantai demi mengatas-namakan sesuatu upacara.”
8. ”Seseorang yang berhasrat untuk maju dalam penitian jalan spritualnya yang lebih tinggi dianjurkan untuk melepaskan segala ikatan (duniawi)nya dengan berbagai mahluk-mahluk hidup lainnya,
baik itu secara ragawi,
dengan menggunakan kata-kata atau pikiran.
Tidak ada sesuaru (ajaran) agama yang lebih tinggi dari hal ini.”
9. ”Akibat dari bangkitnya pengetahuan spritual,
maka mereka yang cerdas intelegensinya dalam bidang pengorbanan (yadnya),
yang sebenarnya sadar akan hakikat sesungguhnya dari prinsip-prinsip keagamaan dan lepas dari hasrat-hasrat duniawi,
akan mengendalikan diri mereka melalui api spritual ilmu pengetahuan,
atau melalui ilmu pengetahuan akan kebenaran Yang Maha Hakiki.
Orang-orang ini akan meninggalkan proses upacara-upacara yang sarat dengan ritual.”
10. ”Menyaksikan para pelaksana upacara pembantaian hewan,
maka para hewan-hewan yang akan dipersembahkan menjadi amat ketakutan dan berpikir : “Orang-orang kejam ini,
yang tidak sadar akan hakikat dan tujuan pengorbanan (yadnya)
dan merasa puas dengan membunuh sesama mahluk,
akan pasti membunuh kami.”
11. ”Oleh karena itu,
hari demi hari,
seseorang yang sebenarnya sadar akan prinsip-prinsip agama dan tidak bersikap zalim terhadap hewan-hewan yang merana ini,
seharusnya setiap harinya melaksanakan yadnya dengan penuh suka-cita,
dan begitu juga untuk berbagai kesempatan-kesempatan lainnya dengan sesajen apa adanya yang tersedia secara mudah berkat karunia Yang Maha Esa.
12. ”Ada lima cabang non-religius yang dikenal dengan sebutan Vidharma (non-religius),
prinsip agama bagi seorang yang tidak pantas (para-dharma),
beragama secara pura-pura (abhasa), agama yang bersifat anologikal (upadharma)
dan agama yang menipu (chala-dharma).
Seseorang yang sadar akan hakikat kehidupan agama yang benar harus menjauhi kelima faktor non-religius ini.”
13. ”Prinsip agama yang menghalangi seseorang dari jalan agamanya sendiri disebut Vidharma.
Prinsip-prinsip agama yang diperkenalkan (diajarkan) oleh orang-orang lainnya disebut para-dharma.
Agama baru yang diciptakan seseorang yang munafik dan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Veda disebut Upadharma.
Dan mengartikan prinsip-prinsip agama secara berolok-olok disebut Chala-dharma.”
14. ”Sebuah cara pengajaran agama yang dibuat-buat,
yang dirancang oleh seseorang yang secara sengaja mengabaikan kewajiban-kewajiban (setiap indvidu sesuai dengan varnanya) disebut abhasa (persamaan yang palsu / imitasi).
Tetapi seandainya seseorang menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan sistim varna dan asramanya,
mengapa mereka tidak mampu untuk mengatasi (menghancurkan) berbagai kedukaan material mereka ?
15. ”Walaupun seandainya seseorang itu miskin harta,
ia tidak seharusnya mati-matian memperbaiki kehidupan ekonominya demi pemuasan jiwa dan raganya
atau demi menjadi seorang penyandang agama yang terkenal.
Ibarat seekor ular sanca,
walaupun tinggal si suatu tempat,
dan tidak berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,
toh sang makanan datang sendiri
dan mencukupi kebutuhan jiwa dan raga ular tersebut.
Demikian juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi mendapatkan kebutuhan tanpa bersusah payah.”
16. “Seseorang yang merasa cukup
dan puas (dengan apa yang didapatkannya sehari-hari)
dan yang menghubungkan (menyerahkan) setiap pelaksanaannya aktifitasnya sehari-hari kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam setiap manusia,
akan menikmati kebahagiaan transendental tanpa berusaha mati-matian demi kehidupannya.
Bagi seseorang yang bergerak kesana kemari dengan tujuan materi yang berlandaskan nafsu dan keserakahan, yang hanya beraktifitas demi menumpuk kekayaan belaka tidak akan tersedia kebahagiaan ini.”
17. "Bagi seseorang yang mengenakan sepatu yang sesuai dengan ukuran kakinya,
tidak akan ada bahaya walaupun ia berjalan diatas kerikil ataupun di atas duri-duri (yang tajam).
Baginya semua itu wajar-wajar saja. Demikian dengan seseorang yang selalu merasa puas,
baginya tidak hadir penderitaan,
sebenar-benarnya ia merasakan kebahagiaan di dalam situasi apapun ia berada.”
18. ”Wahai Raja yang kuhormati,
seorang yang puas dengan dirinya sendiri mampu merasakan kebahagiaan walaupun hanya dengan minum seteguk air.
Tetapi bagi yang dihela oleh berbagai indra-indranya,
khususnya oleh lidah dan alat kelaminnya,
harus menerima statusnya (ibarat) seekor anjing penjaga rumah yang hidup dengan memuaskan indra-indranya.”
19. ”Diakibatkan oleh keserahkahannya demi mengikuti hasrat-hasrat sensualnya (indra-indranya) maka kekuatan spritual, ilmu pengetahuan,
tapa-brata dan reputasi dari pemuja atau Brahmana yang tidak puas akan dirinya ini lambat-laun akan menghilang.”
20. ”Seseorang yang raganya lapar dan dahaga dan menghasratkan kebutuhan badannya ini akan merasa terpuaskan setelah ia selesai menyantap sesuatu. Demikian juga seandainya seseorang merasa marah,
kemarahan tersebut akan terpuaskan karena pelampiasan dan reaksi-reaksinya.
Tetapi walaupun seseorang itu telah menguasai keempat penjuru dunia atau telah menikmati semua kenikmatan di dunia,
tetap saja keserakahan itu tidak terpuaskan.”
21. ”Wahai Raja Yudhistira,
banyak manusia dengan berbagai ragam pengalaman,
dan banyak cendekiawan dan banyak manusia yang menjadi pemimpin berbagai dewan jatuh ke dalam kehidupan neraka akibat tidak pernah puas dan sentosa dengan posisi (status yang telah mereka capai,
hal ini disebut asantosat).”
22. ”Berlandaskan tekad seseorang merencanakan sesuatu;
seseorang harus menanggalkan hasrat-hasrat yang penuh nafsu demi pemuasan indra-indra sensualnya.
Dengan jalan yang sama,
sambil menanggalkan ke iri-hatian seseorang harus menguasai rasa amarahnya,
dengan menimbang akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kekayaan yang menumpuk maka seseorang harus menanggalkan keserakahannya,
dan dengan membahas akan kebenaran seseorang harus menanggalkan rasa takut dan khwatirnya.”
23. ”Dengan mempelajari (berdiskusi dengan sesamanya) ilmu pengetahuan seseorang akan mampu menguasai rasa kesedihan dan ilusi;
dengan berbakti kepada seseorang pemuja agung seseorang bisa berubah menjadi rendah hati,
dengan berdiam diri seseorang akan mampu menjauhi halangan di jalan yoga nan penuh dengan mistik,
dan dengan menghentikan pemuasan indra-indranya seseorang akan mampu menguasai rasa dengki dan (amarahnya).”
24. ”Dengan berperi-laku yang baik
dan lepas dari rasa dengki seseorang harus melawan penderitaan yang terjadi (karena) interaksi dengan mahluk-mahluk hidup lainnya,
dengan bermeditasi kepada Yang Maha Esa (samadhina) seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh semua pemberian Yang Maha Esa ini (jahyat),
dan dengan melaksanakan hatha-yoga, pranayama dan lain sebagainya seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh raga dan pikiran ini. Dengan jalan yang sama seharusnya seseorang mengembangkan peri-laku yang baik,
Khususnya cara bersantap,
dan dengan demikian mengalahkan tidur (rasa malas).”
25. ”Seseorang wajib menguasai sifat-sifat penuh nafsu dan kebodohan
dengan mengembangkan sifat-sifat kebajikan ini
dan menanjak ke tahap suddha-satva. Semua ini bisa dilakukannya secara alami seandainya ia berbakti penuh iman dan dedikasi kepada guru spritualnya.
Dengan jalan ini ia dapat secara mudah menguasai pengaruh berbagai sifat-sifat alam.”
26. ”Seseorang guru spritual secara langsung harus dianggap sebagai (pengganti / medium dari) Yang Maha Esa karena beliau menganugerahkan ilmu pengetahuan ibarat sinar (di dalam kegelapan).
Oleh karena itu,
seandainya seseorang berpikir secara duniawi bahwa seorang guru spritual adalah manusia biasa,
maka seluruh (pelaksana spritualnya) akan kacau-balau.
Semua pelajaran ilmu pengetahuan Veda dan penerangan spritual yang didapatkannya diibaratkan seperti seekor gajah yang sedang mandi.”
27. ”Tuhan Yang Maha Kuasa (Bhagwan) adalah Penguasa seluruh mahluk-mahluk hidup dan alam materi ini.
Telapak kaki PadmaNya dicari-cari dan dipuja-puja oleh berbagai resi agung seperti Vyasa.
Walaupun demikian,
banyak orang-orang yang bodoh yang menganggap Sang Yogeswara ini sebagai manusia biasa.”
28. ”Upacara-upacara ritual,
prinsip-prinsip agama yang baku tapa-brata,
dan berbagai upaya yoga,
kesemuanya ini adalah cara-cara untuk mengendalikan pikiran dan indra-indranya,
seandainya ia tidak bermeditasi (Dhyana) ke Yang Maha Esa,
maka semua pelaksanaan (agama, spritual dan sebagainya) tersebut sama dengan bekerja secara sia-sia dalam kegalauan.”
29. ”Ibarat berbagai aktivitas yang dilandasi kewajiban dan ekonomi yang berpahala
yang tidak dapat membantu seseorang dalam meniti jalan spritualnya,
tetapi sebaliknya malahan menimbulkan keterikatan materi,
maka upacara-upacara berdasarkan ritual-ritual Veda tidak akan mampu menolong seseorang yang bukan pemuja Tuhan Yang Maha Esa.”
30. ”Seseorang yang berhasrat untuk menguasai pikirannya harus meninggalkan keluarganya
dan tinggal di sekitar tempat yang tenang, bebas dari lingkungan manusia yang sudah terkontaminasi.
Demi pemeliharaan tubuh dan jiwanya,
ia harus meminta-minta cukup demi kebutuhan hidupnya saja,”
31. ”Wahai Raja yang kuhormati, seseorang harus pergi sendiri,
bertirta-yatra ke tempat-tempat yang suci dan sakral dan mencari sebuah lokasi untuk melaksanakan yoganya.
Sebaiknya tempat ia beryoga-meditasi bersifat stabil,
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Di sana ia harus duduk secara nyaman, tegak dan stabil dan memulai mengidungkan (beberapa mantra) pranawa-pranawa Veda.”
32/33.”Dengan memfokuskan kedua mata ke ujung hidung,
seseorang yogi yang terpelajar melatih nafasnya dengan cara-cara yang disebut puraka (menarik nafas)........ mengendalikan penarikan
dan pengeluaran nafas
dan lalu menghentikan kedua-duanya. Dengan cara ini sang yogi menjauhkan pikirannya dari ikatan-ikatan materi
dan memasrahkan semua hasrat-hasrat yang ada di jalan pikirannya.
Begitu sang pikiran dapat dikalahkan oleh berbagai hasrat dan nafsu,
dan mulai terdorong untuk merasakan pemuasan indra-indranya,
sang yogi ini harus ssegera mengembalikan fokus semedinya
dan menahannya di dalam lubuk hatinya.”
34. ”Sewaktu sang yogi secara teratur melatih dirinya dengan upaya ini,
maka dalam waktu yang singkat hatinya akan tentram dan lepas jauh dari berbagai gangguan,
ibarat api tanpa kobaran
dan tanpa asap.”
35. ”Sewaktu kesadaran seseorang tidak tercemar oleh berbagai hasrat dan nafsu, maka kesadaran tersebut akan berubah tenang dan damai dalam berbagai tindakan dan pelaksanaannya,
karena seseorang ini telah menyatu di dalam kehidupan yang penuh dengan karunia Ilahi (Yang Maha Esa).
Begitu memasuki tahap ini ia tidak akan kembali ke berbagai aktifitas yang bersifat materi duniawi.”
36. ”Seseorang yang menerima kehidupan sanyasa menjauhi tiga prinsip yang berhubungan dengan berbagai aktifitas dan pelaksanaan yang bersifat duniawi yang biasanya dilakukan sehari-harinya dalam kehidupan grhasta,
seperti bekerja, berusaha, beragama, bermasyarakat dan lain sebagainya, bahkan ia menjauhi pemuasan sensualnya.
Seorang yang telah mengambil jalan sanyasa tetapi kemudian kembali ke berbagai aktifitas duniawinya disebut vantasi,
yaitu seseorang yang memakan muntahannya sendiri.
Orang ini tidak memiliki rasa malu sama sekali.”
37. ”Para sanyasi yang pada mulanya berkata bahwa raga ini suatu hari pasti akan binasa dan berubah menjadi kotoran,
ulat dan abu (tanah) tetapi kemudian mementingkan dan mengangungkan tubuh mereka seakan-akan mengagungkan Sang Atman (di dalam diri mereka) harus disebut sebagai bajingan keparat yang besar.”
38/39. ”Adalah menjijikkan bagi seorang yang hidup dalam grhsta-asrama
untuk mengabaikan prinsip-prinsip pelaksanaan sehari-harinya
dan begitu juga bagi seorang Brahmachari yang mengingkari sumpahnya
dan mengabaikan ajaran-ajaran gurunya, dan bagi seorang yang mengambil jalan vanaprastha untuk tinggal di desa dan melakukan berbagai aktifitas spritual dan sosial,
atau bagi seorang sanyasi yang terbius dengan pemuasan hasrat-hasrat nafsunya.
Seseorang yang bertindak semacam ini disebut pengkhianat yang terendah. Seorang yang palsu ini kacau-balau jalan pikirannya akibat kekuatan eksternal dari Yang Maha Esa,
jadi seharusnya orang ini ditolak dan disingkirkan dari posisinya,
ajari ia agar kembali ke jalannya yang semula dengan penuh kasih sayang, seandainya hal tersebut memungkinkan.”
40. ”Raga manusia ini diperuntukkan demi menghayati akan hadirnya secara transendental (gaib,mistis) Sang Jiwa dan Sang Atman (Yang Maha Esa). Seandainya seseorang dapat memahami kehadiran Mereka sewaktu ia dibersihkan oleh ilmu pengetahuan yang tinggi kadarnya,
lalu untuk apa lagi seseorang yang bodoh harus merawat dan menjaga tubuhnya demi pemuasan nafsu-nafsunya belaka?"
41. ”Mereka-mereka yang membaur ke jalan Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah tinggi pemahaman ilmu pengetahuannya,
menganggap raga ini,
yang dirancang sesuai sabda Yang Maha Kuasa,
ibarat sebuah kereta berkuda.
Indra-indra ragawi diibaratkan sebagai kuda-kuda;
sang pikiran diibaratkan pemimpin dari berbagai indra-indra ini dan adalah tali kekangnya;
berbagai objek-objek indra diibaratkan sebagai berbagai tujuan;
intelegensia seseorang adalah diibaratkan sebagai sang kusir;
dan kesadaran yang membayar ke seluruh penjuru raga ini, adalah penyebab keterikatan di dalam dunia yang bersifat materi ini.”
42. ”Kesepuluh jenis udara yang mengalir di dalam tubuh diibaratkan sebagai as dari roda-roda kereta kuda ini;
bagian atas dan bawah roda disebut dharma dan adharma.
Sang Jiwa di dalam tubuh yang bersifat duniawi ini adalah sang pemilik kereta ini. Mantra Veda (Omkara pathanti) adalah ibarat busur
dan sang jiwa adalah anak panahnya, sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa.”
43/44. ”Di dalam kehidupannya di dunia ini,
sang jiwa yang terbungkus oleh raga duniawi ini sering mengalami pencemaran oleh nafsu dan kebodohan (avidya, kekurang-pengetahuan) yang terpancar keluar sewaktu seseorang itu menunjukkan sifat-sifat keterikatan,
tidak ramah tamah,
serakah,
duka,
melarikan diri dari kenyataan hidup ini, cemburu,
tidak toleran dengan sesamanya,
terjerat dengan atau oleh berbagai nafsu dan hasrat,
kegalauan,
rasa lapar (pada hal sudah cukup makan dan minumnya),
malas dan lebih menyukai tidur.
Semua sifat dan unsur-unsur ini adalah musuh bagi manusia.
Adakalanya seseorang juga tercemar oleh sifat-sifat kebajikan itu sendiri.”
45. ”Selama seseorang harus menerima raga manusiawi ini,
dengan berbagai organ-organ tubuh
dan berbagai sifat dan cara kerjanya, yang tidak selamanya (seluruhnya) dapat dikendalikannya,
maka seseorang harus mencari seorang guru atau guru dari para orang-orang suci. Dengan pertolongan mereka,
seseorang dapat menajamkan pedang (menambah) ilmu pengetahuannya,
dan dengan kekuatan yang didapatkannya dari Yang Maha esa,
maka ia akan mengalahkan musuh-musuh (halangan) yang disebut di atas. Dengan cara ini,
sang pemuja akan mampu menyatu dengan Karunia (transendental) Yang Maha Esa yang hadir di dalam dirinya sendiri,
dan lambat laun pemuja ini akan “mengabaikan” raganya
dan lebih terkonsentrasi kepada identitas spritualnya".
46. Seandainya seorang tidak mengikuti instruksi para guru spritual sejati (di sini disebutkan sebagai Acyuta dan Baladewa = wakil-wakil Sang Krishna),
maka berbagai indra tubuh akan berpari-laku ibarat kuda-kuda (yang liar),
dan intelegensia (budhi) yang diibaratkan sebagai seorang kusir,
semuanya ini akan cenderung terkontaminasi oleh unsur-unsur materi, dan mengarahkan seseorang ke pemuasan indra-indranya.
Sewaktu seseorang tertarik kembali ke berbagai visaya ini,
seperti bersantap,
tidur dan hubungan seksual maka para “kuda liar dan sang kusir” akan terjerumus ke jalan kegelapan dunia ini, dan sekali lagi masuk ke alur kelahiran dan kematian yang berulang-ulang tanpa ujung,
dan situasi ini sangatlah berbahaya dan menakutkan secara spritual.”
47. ”Menurut berbagai Veda,
terdapat 2 jenis pelaksanaan yaitu yang disebut pravrtti dan nivrtti.
Pelaksanaan yang pertama mengangkat seseorang dari tingkat materi duniawi yang rendah ke tingkat kehidupan materi duniawi yang lebih tinggi,
sedangkan pelaksanaan yang adalah pelepasan keterikatan dari berbagai nafsu dan hasrat-hasrat akan hal-hal yang bersifat duniawi.
Melalui pravrtti seseorang akan menderita karena terikat oleh materi duniawi ini,
dan melalui nivrtti seseorang akan disucikan
dan layak menikmati kehidupan yang abadi dan penuh KaruniaNya.”
48/49. ”Berbagai ritual,
upacara dan pengorbanan seperti agni-hotra-yajna, darsa-yajna, purnamasa-yajna, caturmasya-yajna, pasu-yajna dan soma-yajna
ditandai dengan pembantaian hewan
dan pembakaran berbagai benda-benda yang berharga,
khususnya makanan yang berbentuk gandum-ganduman.
Semua ini demi terpenuhinya hasrat dan nazar-nazar yang bersifat materi duniawi. Melaksanakan berbagai pengorbanan tersebut dan memuja Vaisvadeva (Yang Maha Esa),
melaksanakan upacara Baliharana, yang diperuntukkan demi pencapaian tujuan kehidupan,
begitu juga membangun berbagai tempat persembahyangan (Sura-alaya) untuk para dewa-dewi,
membuat sumur-sumur untuk membagi-bagi air,
membangun gudang-gudang makanan untuk membagi-bagi makanan (bagi yang membutuhkan),
dan melaksanakan berbagai aktifitas demi kesejahteraan umum,
kesemuanya ini ditandai oleh ikatan-ikatan bersifat penuh pamrih dan hasrat-hasrat materi duniawi.”
50/51. ”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati,
sewaktu berbagai persembahan yang terdiri dari ghee (mentega murni)
dan bahan makanan seperti berjenis-jenis gandum-ganduman dan wijen dipersembahkan sebagai pengorbanan, maka kesemuanya ini lalu berubah ujud menjadi asap
dan membawa sang pelaksana upacara ini ke berbagai sistem tata surya (loka-loka yang ada di antariksa) seperti loka-loka Sang Dhima, Ratri, Kresnapaksa, Daksinam dan rembulan (somah).
Lalu, para pelaksana pengorbanan ini turun lagi ke bumi dan berubah ujud menjadi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti rempah-rempah dan sebagainya, menjadi serangga, gandum-ganduman dan tanaman-tanaman lainnya.
Semua ini lalu disantap oleh berbagai mahluk hidup dan berubah ujud menjadi spermatozoa yang kemudian disalurkan ke berbagai raga yang berujud feminin. Dengan begitu seorang lahir dan lahir kembali.”
52. ”Seorang Brahmana yang dwijati (lahir kedua kali)mendapatkan (hutang nyawa)kehidupannya karena karunia kedua orang tuanya melalui proses yang dikenal sebagai suatu penyucian yang disebut garbhadana.
Juga kemudiaan diikuti oleh berbagai proses penyucian sampai dengan akhir hayatnya,
yaitu yang disebut upacara pelaksanaan pembakaran jenazahnya (antyesti-kriya). Di dalam kurun waktu tersebut seorang Brahmana yang berkwalitas murni (dwija) tidak tertarik lagi dengan berbagai aktifitas dan pengorbanan secara duniawi ini,
dengan eling (Jnana-dipesu),
penuh kesadaran sejati,
ia mengorbankan kenikmatan indra-indranya ke dalam aktifitas indra-indranya yang telah disinari (diterangi) oleh sinar pengetahuan.”
53. ”Perilaku sang pikiran selalu terombang-ambing oleh ombak penerimaan dan penolakan akan sesuatu hal.
Oleh karena itu semua pelaksanaan berbagai indra-indra ini harus dipersembahkan (dengan kesadaran tentunya) kepada sang pikiran,
yang kemudian disalurkan ke dalam wacana (kata-kata) seseorang.
Lalu kata-kata seseorang tersebut harus dipersembahkan ke bentuk intisari Omkara (pertama wacana orang tersebut dipersembahkan kedalam bentuk alfabet kemudian ke bentuk Omkara).
Omkara kemudian dipusatkan dan dipersembahkan ke titik bindu (di tengah-tengah alis mata),
dari bindu disalurkan melalui getaran ke suara, (nada), dan selanjutnya ke udara kehidupan (prana).
Kemudian yang tersisa adalah jiwa-raga seseorang yang harus dipersembahkan kepada Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Kuasa),
hal ini disebut sebagai proses pengorbanan.”
54. ”Dalam tahap pendakiannya,
seorang insan yang progresif (maju terus) memasuki berbagai loka yang terdiri dari loka api (agni), loka surya, loka hari (diva), loka akhir hari (prahnah), loka suklah (14 hari rembulan yang terang), loka raka (purnama yang jatuh pada akhir sukla-paksa), dan uttaram (saat mentari bergerak ke arah utara),
bersama-sama masing-masing para dewanya.
Sewaktu insan ini memasuki Brahmaloka, ia menikmati kehidupan di sana selama berjuta-juta tahun,
dan akhirnya akan habis juga berbagai tujuan materinya.
Ia kemudian menuju ke arah yang lembut, dan dari titik tersebut ia mencapai tujuan kasualnya,
di mana ia dapat menyaksikan berbagai tahap-tahap yang telah dilaluinya. Sewaktu ia meninggalkan tahap kasualnya ini,
ia akan mencapai tahap yang murni di tahap ini ia mengenali Sang Jati Diri (Atman).
Dengan cara ini ia berubah menjadi transendental (menyatu denganNya).”
55. ”Proses bertahap dalam pendakian (spritual) demi mencapai kesadaran akan Sang Jati Dirinya sendiri dimaksudkan bagi mereka-mereka yang benar-benar sadar akan Kebenaran Yang Hakiki. Setelah menjalani berbagai kelahiran di jalan ini,
yang dikenal sebagai deva-yana, seseorang akan mencapai berbagai tahap-tahap spritual ini.
Seseorang yang secara total lepas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi,
karena telah menyatu denganNya,
tidak perlu lagi menjalani berbagai kelahiran dan kematian.”
56. ”Walaupun seseorang hidup dengan menyandang raga, (tetapi) sadar secara total akan jalan-jalan yang disebut sebagai pitra-yana dan dewa-yana, dan membuka matanya sesuai dengan ilmu pengetahuan Veda, insan ini tidak akan pernah galau di dunia yang serba meterialistik ini.”
57. ”Beliau yang hadir secara internal dan eksternal,
yang hadir pada permulaan dan akhir dari setiap unsur dan eksis di setiap mahluk hidup,
yang dinikmati dan yang menikmati semuanya,
Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Tak Berkuasa,
disebut sebagai Kebenaran Yang Maha Hakiki.
Beliau selalu hadir sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan,
sebagai ekspresi dan tujuan dari pengertian,
sebagai kegelapan dan sebagai penerangan.
Oleh sebab itu, Yang Maha Kuasa adalah segala-galanya.”
58. ”Walaupun seseorang boleh mengatakan bahwa pantulan sinar surya dari sebuah cermin bukanlah surya, sebenarnya sang surya tetap saja eksis. Demikian juga caranya seandainya ingin membuktikan Keberadaan Tuhan Yang Hakiki melalui ilmu pengetahuan yang menduga-duga itu pastilah sangat sukar untuk dibuktikan.”
59. ”Di dunia ini terdapat lima unsur (maha-panca-butha),
masing-masing adalah bumi, air, api, udara dan ether,
tetapi raga kita bukanlah refleksi dari kelima unsur ini,
juga bukan sebuah bentuk perpaduan ataupun transformasi dari kelima-limanya ini.
Karena raga ini dan seluruh anggota-anggota badannya ini tidak saling berjauhan maupun bercampuran,
semua teori-teori yang mengatakan seperti ini dan atau seperti itu,
tidak berdasar sama sekali.”
60. ”Karena raga ini terdiri dari lima unsur tersebut,
maka raga ini tidak bisa hidup tanpa tujuan-tujuan dari berbagai objek-objek sensualnya yang halus (suara, rasa, sentuhan, intuisi, penciuman, dan sebagainya).
Oleh karena raga ini palsu (ilusif),
maka tujuan-tujuan sensualpun secara alami bersifat palsu
dan tidak abadi.”
61. ”Sewaktu sesuatu unsur dan berbagai bagian-bagiannya dipisah-pisahkan, maka penerimaan konsep kesamaan dari berbagai pisahan ini disebut sebagai ilusi. Sewaktu seseorang bermimpi,
maka ia menciptakan sebuah pemisahan antara eksistensi yang disebut kesadaran (tahap tidak tidur) dan tahap tidur.
Pada tahap pikiran semacam itulah, berbagai prinsip-prinsip yang beraturan yang terdapat di berbagai kitab-kitab suci, yang memuat berbagai perintah dan larangan,
dianjurkan (kepada umat).”
62. ”Setelah mempertimbangkan suatu kesatuan dari berbagai aktifitas
dan suatu kesatuan dari berbagai fenomena di alam semesta ini,
dan setelah menyadari setiap pelaksanaan maupun reaksi-reaksinya, maka seseorang (muni, orang yang suci), sesuai dengan kadarnya (kadar kesadarannya),
menanggalkan ketiga tahap yaitu : tahap kesadaran,
tahap mimpi
dan tahap tidur.”
63. ”Sewaktu seseorang memahami bahwa sebab dan akibat sebenarnya adalah satu dan dualitas tidak nyata, ibarat benang-benang yang ditenun di sehelai kain tidak bisa disebut kain,
maka insan ini mencapai suatu konsep kesatuan (spritual) yang disebut Bhavadvaita (konsep akan kesatuan).”
64. ”Wahai Yudhistira (partha) yang kusayangi,
sewaktu semua bentuk pelaksanaan berbagai aktifitas seseorang yang terpancar keluar dari pikiran,
kata-kata dan raga seseorang dipersembahkan secara langsung demi pengorbanannya kepada Yang Maha Kuasa,
maka insan ini mencapai tahap kesatuan pelaksanaan,
yang disebut Kriyadvaita.”
65. ”Sewaktu tujuan hidup yang hakiki dan kepentingan dari seseorang,
dari istrinya,
dari putra-putrinya,
dari kalangan keluarganya
dan dari semua mahluk-mahluk hidup itu bersifat satu,
maka hal ini disebut Dravyadvaita,
atau kesatuan kepentingan.”
66. ”Dalam keadaan normal,
di mana mara bahaya tidak hadir, wahai Raja Yudhistira,
seseorang harus melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan status sosial yang disandangnya,
dengan menggunakan benda-benda, upaya-upaya,
proses dan tempat kediaman yang tidak terlarang baginya,
dan tidak dengan melalui cara-cara yang lain.”
67. ”Wahai Raja,
setiap insan harus melakukan kewajibannya sesuai dengan instruksi-instruksi ini,
juga sesuai dengan instruksi yang ada di berbagai Veda,
agar pantas menjadi pemuja Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, walaupun seseorang tinggal di rumah,
ia akan pasti mencapai tujuannya.”
68. ”Wahai Raja Yudhistira,
karena baktimu kepada Tuhan Yang Maha Esa,
maka seluruh Pandawa berhasil mengalahkan berbagai raja-raja dan dewa-dewa.
Dengan berbakti kepada kaki padmaNya Sang Krishna dikau berhasil mengalahkan musuh-musuhmu yang dashyat,
ibarat kawanan gajah dan selanjutnya dikau mengumpulkan berbagai keperluan untuk pengorbananmu.
Dengan KaruniaNya,
semoga dikau dilepaskan dari ikatan-ikatan materi duniawi ini.”
69. ”Pada suatu kurun waktu yang teramat silam, di bagian lain maha-kalpa (milleniumnya Sang Dewa Brahma) aku hadir sebagai seorang Ghandharva (penyanyi di sorgaloka) yang dikenal dengan nama Upabharhana, aku sangat dihormati oleh para ghandharvas yang lainnya.”
70. ”Aku memiliki wajah yang tampan dan bentuk tubuh yang menawan. Berhiaskan untaian-untaian bunga dan pupur (serbuk bedak yang dicampur air / susu) cendana, aku sangat menawan bagi wanita-wanita di lokaku. Karenanya aku selalu bersifat liar, penuh dengan berbagai hasrat nafsu-nafsuku.”
71. ”Pada suatu saat diselenggarakan upacara Sankirtana (puja-puji) untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa, dan para Ghandharva dan apsara (para penyanyi / penari wanita di sorgaloka) diundang oleh Prajapati untuk ikut serta.”
72. ”Resi Narada meneruskan :
Akupun diundang di upacara ini,
dan karena selalu dikerumuni wanita-wanita,
aku mulai melantunkan kidung puja-puji bagi para dewata.
Dan akibatnya para Prajapati yang menjalankan berbagai kegiatan di alam semesta terpaksa mengutukku dengan kata-kata seperti ini :
“Karena dikau telah melanggar peraturan, maka dikau dikutuk untuk langsung menjadi seorang sudra,
dan jauh dari ketampanan.”
73. Walaupun aku dilahirkan sebagai seorang sudra dari rahim ibuku yang berstatus seorang pembantu rumah tangga,
aku selalu terlibat dengan pemujaan kepada Sang Hyang Vishnu,
dan dalam kehidupan ini aku mendapatkan kesempatan dilahirkan sebagai (salah seorang) putra Dewa Brahma.”
74. ”Proses memuja nama suci Tuhan Yang Maha Esa sangatlah dashyat hasilnya,
bahkan proses ini dapat membuat para grhastas (kepala rumah tangga) dengan mudah mencapai tahapnya para orang-orang suci.
Wahai Maharaja Yudhistira,
dengan ini aku sudah menerangkan kepadamu proses dari ajaran dharma ini.”
75. ”Wahai Maharaja Yudhistira yang kuhormati,
para Pandawa kesemuanya adalah insan-insan yang teramat beruntung di dunia ini karena selalu dikelilingi oleh berbagai kaum suci,
yang mampu membersihkan seisi alam semesta,
dan para orang suci ini berkunjung ke kediamanmu seperti layaknya tamu-tamu biasa saja.
Lebih dari itu, Sri Kresna (Krishna),
Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri, berastana bersama-sama dikau semuanya di kediamanmu, ibarat seorang saudara.”
76. ”Alangkah menakjubkan bahwa Sri Krishna Sang Para Brahman,
Yang Maha Kuasa yang transendental ini, malahan bertindak sebagai penjagamu, sebagai teman dan sepupumu,
sebagai jiwa dan kalbu,
sebagai pengarah spritual (puja-pujimu) dan sebagai guru spritualmu.”
77. ”Hadir di sini Tuhan Yang Maha Esa yang wujud aslinya tidak bisa difahami bahkan oleh para dewa seperti dewa Brahma dan Dewa Shiva.
Tetapi Beliau bisa disadari oleh para pemujaNya yang telah pasrah secara total.
Semoga Beliau,
yang merupakan pemelihara seluruh pemuja-pemujaNya,
Yang dipuja secara hening,
dengan bakti yang penuh dedikasi dan pemasrahan total dan lepas dari berbagai pamrih,
sudi melindungi kita semua.”
78. ”Bersabdalah Sri Sukadewa Goswami kepada Raja Parikesit yang sedang mendengarkan kisah antara Resi Narada dan Raja Yudhistira ini.
Maharaja Yudhistira yang terbaik dari dinasti Barata,
langsung saja faham akan ajaran-ajaran Resi Narada.
Setelah mendengarkan ajaran-ajaran ini, beliau dengan segala suka-cita di dalam kalbunya dan penuh dengan kenikmatan Ilahi,
dan penuh dengan prema (cinta kasih Ilahi) dan kasih sayang (terhadap sesama mahluk) dan rasa hormat,
memuja Sri Krishna, Yang Maha Esa.”
79. ”Kemudian Resi Narada,
yang dihormati dan dipuja-puji oleh Sri Krishna dan Maharaja Yudhistira mengucapkan salam perpisahan dan kembali kediaman beliau.
Maharaja Yudhistira yang baru sadar bahwa sepupunya Sri Krishna adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri,
menjadi takjub dan bahagia di dalam kesadarannya ini.”
80. Resi Goswami kemudian bersabda kepada Raja Parikesit :
“Di berbagai loka-loka di alam semesta ini berbagai unsur-unsur kehidupan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
termasuk para dewa-dewi, asuras, dan manusia, kesemuanya ini lahir dari putra-putri Maharaja Daksa,
dan telah kuterangkan kesemuanya ini dengan berbagai dinasti-dinastinya kepadamu.”
Dengan demikian berakhirlah ajaran dharma yang disebut,
“petunjuk-petunjuk demi tercapainya kemanusian yang berbudaya dan beradab.”