BAB III
KISAH MAHARAJA AMBARISA
DAN DURVASA MUNI
(Bagian ke I)
1. Sukadewa Goswami bersabda kepada Raja Parikesit :
“Putra Nabhaga yang bernama Naabhaaga hidup selama bertahun-tahun berguru di kediaman seorang guru spritualnya,
sehingga para saudara-saudaranya berpikir ia tidak akan kembali menjalani masa grhastanya.
Tanpa banyak berpikir mereka membagi-bagi harta kerajaan diantara mereka sendiri tanpa meninggalkan sisa apapun untuknya.
Sewaktu Naabhaaga kembali dari perguruannya,
mereka memberikan ayah mereka sebagai pembagiannya.”
2. Naabhaga memohon,
“Wahai para saudara-saudaraku,
di manakah hak-hakku akan kekayaan ayahku ?”
Dan para kakak-kakaknya menjawab, “Kami telah menyisahkan ayah kami sebagai bagianmu.”
Tetapi sewaktu mengunjungi ayahnya dan menceritakan hal tersebut,
sang ayah menjawab : “Jangan dikau mendengarkan kata-kata mereka yang penuh dengan berbagai tipu-daya,
aku bukan milikmu.”
3. Ayah Naabhaga berkata : “Keturunan Angira seluruhnya akan segera melakukan sebuah upacara pengorbanan,
dan walaupun mereka ini sangat cerdas, tetapi pada setiap hari keenam upacara mereka akan kacau-balau jalan pikirannya dan tidak akan mampu melanjutkan upacara pengorbanan dengan baik
dan mereka akan melakukan berbagai kesalahan dalam menunaikan kewajiban mereka sehari-hari.”
4/5. Ayah Naabhaaga melanjutkan : “Pergilah ke para resi yang agung ini
dan jabarkan dua mantra Veda yang kuberikan kepadamu ini kepada mereka. Sewaktu mereka selesai dengan upacara pengorbanan mereka,
maka mereka semua akan pergi ke swargaloka,
mereka akan memberikan sisa harta-benda yang mereka terima untuk upacara ini kepadamu.
Jadi cepatlah pergi.”
Dan Naabhaagapun melaksanakan perintah ayahnya
dan berhasil mendapatkan kekayaan yang luar biasa dari para resi-resi ini yang kesemuanya berhasil moksha ke loka-loka lainnya.”
6. ”Tak lama setelah Naabhaaga menerima kekayaan ini,
dari utara datang seseorang yang berkulit hitam-legam
dan berkata,”Seluruh harta-benda pengorbanan ini adalah milikku.”
7. Naabhaaga kemudian berkata, “Semua kekayaan ini adalah milikku,
para resi yang agung telah menganugrahkannya kepadaku.
Setelah ia selesai dengan ucapannya,
pria hitam ini kemudian berkata,
”Kalau begitu kita harus pergi ke tempat ayahmu dan memintanya untuk menuntaskan masalah ini,
” Dan Naabhaaga pun setuju dengan usul ini.”
8. Sabda ayah Naabhaga :
“Apapun yang telah dipersembahkan oleh para resi agung di arena pengorbanan Daksa-Yajna itu,
sebenarnya diperuntukkan bagi Dewa Shiwa,
jadi semua persembahan tersebut adalah miliknya semata.”
9. ”Selanjutnya,
dengan penuh rasa hormat dan sembah sujud ke Dewa Shiwa,
Naabhaaga berkata : “Wahai Tuhan yang kupuja,
semua di arena itu adalah milikMu.
Aku tunduk pada sabda-sabda ayahku. Sekarang penuh rasa hormat,
aku bersujud kepadaMu,
sudilah mengampuniku.”
10. Dewa Shiwa bersabda :
“Apapun yang telah dikatakan oleh ayahmu adalah benar,
dan yang dikau katakan pun adalah kebenaran yang sama.
Oleh karena itu,
Aku yang memahami mantra-mantra Veda-Veda,
akan menjabarkan ilmu pengetahuan transendental (mistik/spritual) kepadamu.”
11. ”Dewa Shiwa bersabda :
“Sekarang dikau boleh mendapatkan semua sisa harta-benda pengorbanan ini, karena ku anugrahkan kepadamu.” Setelah berkata demikian,
Dewa Shiwa, yang teramat sakti ini dan sangat taat pada ajaran dharma (dharma-vatsalah) sirna dari tempat tersebut.”
12. ”Seandainya seseorang mendengar dan mengulang atau mengingat sloka-sloka di atas setiap pagi dan petang penuh dengan perhatian,
maka orang tersebut pasti akan berubah menjadi terpelajar,
penuh dengan pengertian akan ajaran Veda,
dan tangkas dalam mendapatkan kesadaran tentang Sang Jati Diri.”
13. ”Dari Nabhaagaa lahirlah Maharaja Ambarisa.
Maharaja Ambarisa dikenal sebagai seorang pemuja yang dihormati sekali oleh para resi dan rakyatnya,
beliau dipuja-puji karena berbagai kebajikan dan bakti beliau baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Walaupun ia dikutuk oleh seorang brahmana sakti,
ternyata kutukan tersebut tidak mampu menyentuhnya.”
14. ”Raja Parikesit bertanya :
“Wahai resi yang mulai,
Maharaja Ambarisa adalah seorang yang terhormat
dan penuh dengan kebajikan.
Kami ingin tahu lebih banyak tentang beliau.
Sangat menakjubkan bahwa kutukkan dari brahmana yang sedemikian dashyat kesaktiannya tidak mampu menyentuhnya.”
15/16. Resi Sukadewa Goswani berucap : “Maharaja Ambarisa adalah seorang yang amat beruntung,
beliau menguasai seluruh dunia yang terdiri dari 7 benua
dan sang maharaja ini telah mencapai status yang tak terkalahkan
dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas
dan kemakmuran yang amat sangat di atas muka bumi ini.
Walaupun status semacam ini sulit dicapai oleh seorang manusia,
Maharaja Ambarisa sebaliknya tidak pernah mengacuhkan semua itu,
karena beliau sadar semua kemegahan ini bersifat ilusi duniawi
dan serba materi,
dan suatu saat pasti akan hancur.
Sang maharaja sadar sekali bahwa semua itu merupakan godaan yang dapat menyeretnya ke sidhi
(dunia kegelapan yang penuh dengan kesaktian dan kemakmuran).”
17. ”Maharaja Ambarisa adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu Vasudewa,
dan berada dalam jajaran para kaum suci yang memuja Yang Maha Esa.
Karena baktinya yang sedemikian kuat beliau beranggapan bahwa seisi alam semesta ini ibaratnya hanya sebuah batu biasa.”
18/19/20. ”Maharaja Ambarisa dalam semadinya selalu berfokus ke telapak kaki padma Sang Krishna,
beliau selalu memuja-muji Keagungan Yang Maha Esa,
tangan beliau secara pribadi selalu membersihkan berbagai tempat pemujaan Yang Maha Esa.
Telinganya selalu mendengarkan sabda-sabda Sang Krishna
atau hal-hal mengenai Sang Krishna. Beliau sangat memperhatikan tempat-tempat ibadah Sang Krishna seperti Mathura dan Vrandavana.
Beliau juga selalu menyentuh dengan penuh hormat kaki semua bakta Sang Krishna,
dan penciuman hidungnya selalu diarahkan ke daun-daun Tulasi yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa, dan lidahnya selalu menikmati berbagai prashadam bagi Yang Maha esa.
Kedua kaki beliau selalu digerakkan dan diarahkan ke tempat-tempat suci Yang Maha Esa,
dan selama 24 jam sehari-harinya beliau bersujud
dan memuja Tuhan Yang Maha Esa sambil memasrahkan secara total seluruh hasrat-hasrat duniawinya kepada Sang Krishna Vasudewa.
Sebenar-benarnya beliau tidak pernah menghasratkan sesuatu bagi kenikmatan indra-indranya secara pribadi.
Seluruh indra-indra di tubuhnya diarahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai bakti beliau. Inilah cara (upaya) demi merapat lebih erat dengan Tuhan Yang Maha Esa
dan secara total menjauhi berbagai hasrat duniawi.”
21. ”Dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-harinya sebagai raja,
Maharaja Ambarisa selalu mempasrahkan hasil dari berbagai pelaksanaannya kepada Yang Maha Esa, yang adalah penikmat dan penentu semua tindakan-tindakannya
dan begitu juga Yang Maha Esa adalah juga penentu hasil dari semua tindakan yang jauh dari persepsi duniawi ini.
Beliau selalu meminta berbagai pendapat dan nasehat dari para brahmana yang berbakti kepada Yang Maha Esa secara amat setia,
dengan demikian beliau menguasai planet bumi ini tanpa kesulitan.”
22. ”Di negara-negara yang bergurun pasir di mana sungai Sarasvati mengalir, Maharaja Ambarisa telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan seperti Asvamedha-yagna dan telah memuaskan Yang Maha Esa,
Penguasa Utama seluruh yagna (Yajna). Berbagai upacara ini dilaksanakan penuh dengan perhatian dan memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan dan lengkap dengan berbagai daksina bagi para brahmana yang hadir dan berpartisipasi,
yang dipimpin oleh Resi Vasistha, Asita, dan Gautama, yang mewakili Sang Raja, pelaksana berbagai upacara suci ini.”
23. ”Pengorbanan (Yajna) yang diselenggarakan oleh Maharaja Ambarisa ini dihadiri oleh para anggota dewan negara dan para pendeta yang terdiri dari berbagai golongan yang kesemuanya mengenakan jubah-jubah kebesaran, mereka semua terkesan mirip para dewa. Dengan mata yang bersinar-sinar mereka menyaksikan dengan penuh perhatian penyelenggaraan yajna ini.”
24. ”Penduduk di kerajaan Maharaja Ambarisa sudah terbiasa dengan berbagai aktifitas dan puja-puji spritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
para penduduk ini ikut melakukan berbagai upacara ini tanpa mengharap sedikitpun agar dapat moksha atau pergi ke berbagai swarga-loka,
walaupun mereka juga sadar bahwa loka-loka ini menjadi dambaan para dewa sekalipun.”
25. ”Mereka-mereka yang telah larut dalam kebahagian transendental dengan berbakti kepada Yang Maha Esa tidak tertarik akan kesaktian
dan berbagai kedashyatan para kaum mistik,
karena mereka sadar bahwa faktor tersebut adalah halangan bagi pencapaian karunia sejati Yang Maha Esa yang dapat dirasakan di dalam hati sanubari seorang pemuja yang senantiasa berpikir akan Yang Maha Esa dan memujaNya dari bagian relung kalbunya yang paling dalam.”
26. ”Maharaja Ambarisa sebagai penguasa planet bumi ini,
khusus demi upacara ini melaksanakannya penuh bakti dan berupawasa (tapa-brata dan berpuasa) yang sangat berat dan penuh disiplin. Dengan senantiasa berpikir untuk memuaskan Yang Maha Esa sewaktu melaksanakan bakti spritualnya,
beliau mengesampingkan seluruh nafsu-nafsu duniawinya secara bertahap.”
27. ”Maharaja Ambarisa menanggalkan semua ikatan-ikatan kekeluargaannya termasuk dengan para istri, putra-putri, teman-teman dan handai-taulan,
bahkan dengan hewan-hewan peliharaan yang teramat prima seperti koleksi gajah dan kuda,
kereta-kereta perang dan emas permata, berbagai perhiasan,
jubah-jubah yang mewah
dan harta benda yang serba gemerlapan ditinggalkan semua,
karena beliau beranggapan semua ini sebagai tidak abadi dan bersifat materi duniawi belaka.”
28. ”Tuhan Yang Maha Esa (Hari) yang teramat puas dan bahagia akan bakti yang teramat tekun
dan penuh dedikasi ini menganugerahkan cakraNya kepada sang maharaja,
agar beliau selalu terhindar dari segala mara-bahaya dan serangan-serangan para musuhnya.”
29. ”Maharaja Ambarisa yang berhasrat memuja Sri Krishna Vasudewa,
beserta istrinya yang tidak kalah imannya dari sang suami,
beritikad untuk melakukan tapa-brata Ekadasi dan Dvadasi dengan berpuasa selama setahun penuh.”
30. ”Pada bulan Kartika,
setelah menjalankan tapa-bratanya selama setahun,
dan berpuasa selama tiga hari selanjutnya,
dan setelah bersiram diri di sungai Yamuna,
Maharaja Ambarisa memuja Sang Hari, Tuhan Yang Maha Penyayang,
di suatu lokasi yang disebut Madhuvana.”
31/32. ”Maharaja Ambarisa melaksanakan upacara pemandian Arca Sang Krishna Vasudewa
sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dengan segala ragam tata upacara yang seharusnya,
kemudian beliau mengenakan kepada arca tersebut berbagai pakaian kebesaran,
perhiasan,
kalungan-kalungan bunga yang serba bermutu prima.
Dengan seksama dan penuh bakti,
beliau memuja Sri Krishna
dan juga menghaturkan puja bagi semua brahmana yang berbahagia yang lepas dari berbagai nafsu duniawi.”
33/34/35. ”Selanjutnya Maharaja Ambarisa memuaskan hati semua tamu yang hadir dengan berbagai sesajian dan lain sebagainya,
khususnya para brahmana yang hadir mendapatkan perhatian yang penuh dan teramat khusus.
Beliau menyumbangkan 60 ksor (600 juta) ekor sapi yang masing-masing tanduknya berlapiskan emas
dan bagian lehernya berkalungkan perhiasan yang berlapisan perak.
Semua sapi-sapi ini berhiaskan kain dan disertai kantung-kantung susu yang penuh.
Semua sapi-sapi ini nampak sangat jinak, berusia muda
dan sangat menawan
dan disertai oleh anak-anak sapi mereka. Setelah mempersembahkan sapi-sapi ini, sang raja secara penuh perhatian mempersembahkan santapan bagi semua brahmana yang hadir,
dan setelah mereka semua telah terpuaskan,
maka dengan izin mereka Sang Raja lalu memutuskan untuk mengakhiri puasa Ekadasinya.
Dan tepat pada saat itu,
hadir seorang resi agung dan teramat sakti mandraguna,
tanpa diundang.”
36. ”Setelah berdiri dari tempat duduknya
dan menerima Durvasa Muni,
Raja Ambarisa mempersilakan sang resi untuk duduk bersama,
kemudian sang resi dihormati seperti layaknya menghormati seorang resi yang agung.
Setelah menyentuh kedua telapak kaki sang resi,
Maharaja Ambarisa mempersilakan beliau untuk berbuka puasa secara bersama-sama.”
37. ”Dengan senang hati Durwasa Muni menerima ajakan bersantap bersama ini, tetapi beliau meminta waktu agar dapat melakukan ritual kebiasaannya dahulu.
Di sungai Yamuna yang airnya dianggap sangat suci
dan ia bersemadi ke arah Sang Brahman.”
38. ”Sementara itu hanya sedikit sesajen upacara hari Dvadasi yang tersisa untuk berbuka puasa.
Sehingga mau tidak mau sang raja harus cepat-cepat berbuka puasa.
Dalam situasi yang teramat kritis ini, sang raja memohon nasehat dari para brahmana yang hadir.”
39/40. Sang raja berkata :
“Adalah suatu pelanggaran yang berat seandainya kami tidak menghormati para brahmana.
Dan pada saat yang sama seandainya tidak segera berbuka puasa berarti janji puasa kami selama kurun waktu setahun akan terlanggar.
Oleh sebab itu wahai brahmana seandainya anda semua beranggapan bahwa adalah suatu tindakan yang suci dan tidak melanggar kaedah-kaedah agama,
perkenankan kami berbuka puasa dengan meneguk air.
Dengan cara ini,
setelah mendapatkan masukan dari para brahmana,
sang raja meneguk sedikit air,
yang menurut para brahmana ini,
tidak dianggap menyantap ataupun tidak menyantap sesuatu.”
41. ”Wahai yang terbaik,
di antara jajaran dinasti Kuru,
setelah meneguk sedikit air,
Raja Ambarisa bersemedi dengan menunjukan pikirannya ke arah Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam relung hatinya,
sambil menunggu kembalinya resi Durvasa Muni.”
42. ”Setelah menyelesaikan berbagai upacara ritual siang hari,
Resi Durvasa meninggalkan tepian sungai Yamuna.
Sang raja menyambutnya dengan baik, penuh segala kehormatan,
namun Durvasa Muni,
melalui kesaktiannya memahami bahwa Raja Ambarisa telah berbuka puasa dengan meneguk air tanpa seizin sang resi.”
43. ”Durvasa Muni yang masih dalam keadaan lapar,
dan bergetar tubuhnya,
dengan kedua alisnya yang terangkat akibat geramnya,
murka sekali kepada sang raja yang berdiri di depannya dengan kedua tangan yang terkatub.”
44. ”Aduh,
coba lihat kelakuan orang jahat ini !
Ia bukan pemuja dewa Vishnu.
Karena merasa sombong akan kekayaan dan kedudukannya,
ia merasa dirinya seakan-akan telah menjadi Tuhan itu sendiri.
Coba perhatikan bagaimana ia telah melanggar peraturan-peraturan agama.”
45. ”Maharaja Ambarisa,
dikau telah mengundangku sebagai seorang tamu untuk bersantap,
tetapi dikau telah bersantap lebih dahulu. Oleh karena ulahmu ini,
akan kuperlihatkan sesuatu untuk menghukummu.”
46. ”Pada saat Durvasa Muni berkata demikian wajahnya memerah penuh rasa angkara-murka.
Ia mencabut sejumput rambut dari kepalanya,
dan menciptakan seorang iblis yang mirip api yang berkobar-kobar secara dashyat untuk menghukum Maharaja Ambarisa.”
47. ”Bersenjatakan sejenis trisula
dan menggetarkan permukaan bumi ini dengan langkah-langkah kakinya,
mahluk api ini mendekati Maharaja Ambarisa.
Namun sang raja tidak merasa terganggu oleh kehadiran mahluk ini
dan tidak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri.”
48. ”Ibarat api di hutan yang membakar habis ular yang marah menjadi abu, dengan perintah Yang Maha Kuasa,
maka Sudharsana Cakra milik Sang Hyang Vishnu pun tiba-tiba muncul
dan memusnahkan iblis tersebut menjadi abu dalam sekejab.
Demikian ini cara Beliau menjaga para pemuja-pemujaNya.”
49. ”Menyaksikan kegagalannya,
dan nampak bahwa Cakra Sudharsana sedang menuju ke arahnya,
Durvasa Muni menjadi sangat ketakutan dan mencoba berlari ke segala arah demi menyelamatkan hidupnya.”
50. ”Ibarat api di hutan yang mengejar seekor ular,
cakra Yang Maha Esa ini pun mengejar terus Durvasa Muni ke arah manapun ia berlari.
Durvasa Muni melihat bahwa cakra ini hampir-hampir saja membelah punggungnya,
ia langsung saja lari dan masuk ke sebuah gua yang terdapat di gunung Sumeru.”
51. ”Namun Sang Cakra mengejarnya ke manapun ia bergerak baik itu di langit, atau di darat,
baik itu di dalam berbagai gua atau di dalam samudera,
bahkan resi ini dikejar terus sewaktu ia terbang ke berbagai loka-loka dan planet-planet di alam semesta ini.
Kemanapun ia pergi ia akan selalu tersusul oleh api Sudharsana Cakra yang tak tertahankan baranya ini.”
52. ”Dengan penuh rasa ketakutan, Durvasa Muni pergi kesana kemari mencari perlindungan,
tetapi sia-sia saja,
dan akhirnya ia terbang ke Brahma-Loka dan mengharap ke dewa Brahma.
“Wahai Dewataku,
wahai dewa Brahma,
mohon kami dilindungi dari kobaran api Sudharsana Cakra yang dikirimkan oleh Yang Maha Esa ini.”
53/54. ”Dewa Brahmapun bersabda : “Pada saat dwi-parardha,
sewaktu seluruh ciptaan masa lalu selesai siklusnya,
maka Dewa Vishnu, dengan sebuah kerlingan bulu-bulu matanya akan melenyapkan seisi alam semesta ini termasuk di dalamnya itu brahma-loka tempat kediaman kami ini.
Dewa-dewa jajaran kami ini,
seperti Dewa Shiwa,
juga para Daksa,
Berghu
dan berbagai orang-orang suci
dan penguasa-penguasa berbagai bentuk kehidupan,
manusia-manusia,
dan para dewa-dewi......kami semua tunduk menyerahkan diri kami semua ini kepada Dewa Vishnu
yang adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri.
Sambil menundukkan kepala kami,
kami bersujud demi melaksanakan segala perintah-perintahNya
demi kepentingan semua bentuk kehidupan di alam semesta ini.”
55. ”Sewaktu Durwasa yang kepanasan oleh api Sudharsana Cakra ini ditolak oleh Dewa Brahma,
ia langsung terbang ke bersemayamnya Dewa Shiwa di Kailasa memohon bantuan.”
56. Namun Dewa Shiwa,
bersabda :
“Wahai anakku,
kami dan Dewa Brahma dan jajaran dewa-dewi lainnya,
bergerak melingkar di dalam alam semesta ini di bawah kebesaran kami yang merupakan sebuah konsep (spritual) yang salah,
karena kami semua sebenarnya tidak memiliki kesaktian apapun juga untuk melawan Kekuasaan Yang Maha Esa, karena tidak terhitung jumlahnya alam-alam semesta yang telah diciptakanNya dan yang telah dimusnahkanNya dengan sedikit arahanNya saja.”
57/58. ”Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dapat kufahami (demikian sabda dewa Shiwa),
dan juga oleh para Sanatkumara, Narada, yang maha terhormat Dewa Brahma, Kapila (putra Dewahuti), Apantaratama (Vyasadewa), Dewala, Yamaraja, Asuri, Marici dan berbagai orang-orang suci yang dipimpinnya,
juga oleh mereka-mereka yang telah mendapatkan anugrah keabadian.
Namun begitu,
karena kami semua terbungkus oleh kekuatan ilusi Yang Maha Kuasa,
maka kami semua tidak bisa memahami akan Kebesaran dan Keagungan dari Zat (energi) ini.
Anda sebenarnya langsung saja ke Beliau Yang Maha Kuasa agar mendapatkan pembebasan,
karena Sudharsana Cakra ini tidak tertahankan bahkan oleh kami.
Pergilah langsung ke Dewa Vishnu,
Beliau pasti akan melindungi dan mengayomimu.”
60. ”Selanjutnya kecewa karena ditolak oleh dewa Shiwa,
terbanglah Durwasa Muni ke Vaikuntha-loka dimana bersemayam Yang Maha Esa dalam wujud Maha Vishnu yaitu Narayana,
didampingi oleh Laksmi,
saktinya yang berwujud Dewi Kemakmuran.”
61. ”Durwasa Muni,
resi yang sakti mandraguna ini,
lemas karena terbakar oleh bara api Sudharsana Cakra,
jatuhlah ia di kedua telapak kaki Hyang Narayana.
Seluruh tubuhnya gemetar,
ia mengatakan :
“Wahai Dikau Yang Maha Kuasa,
Yang Tak terbatas,
Pengayom seisi alam semesta ini,
hanya Dikau semata yang menjadi tujuan semua pemuja.
Daku adalah penyandang dosa yang terbesar,
Tuhanku, mohon kami dilindungi olehMu.”
62. ”Wahai Tuhanku,
Yang Maha Pengendali,
tanpa kusadari akan keagunganMu yang tak terbatas,
daku telah berbuat dosa terhadap pemujaMu yang teramat Dikau kasihi. Dikau adalah Maha Pelaksana,
walau seseorang harus masuk ke Neraka, dapat Dikau selamatkan hanya karena orang tersebut mengingat namaMu di dalam hatinya.”
63. Hyang Narayana,
Yang Maha Esa bersabda kepada resi Durvasa Muni :
“Daku ini secara keseluruhan berada di bawah kendali para pemuja-pemujaKu. Daku sebenarnya tidak bisa bebas dari pemuja-pemujaKu.
Karena semua pemuja-pemujaKu ini telah bebas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi mereka,
Daku bersemayam di setiap hati para pemuja-pemujaKu.
Bagaimana daku harus menggambarkan kebesaran para pemuja-pemujaKu ini, mereka-mereka yang bahkan adalah pemuja dari pemujaKu adalah kesayanganKu juga.”
64. ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana,
tanpa mereka-mereka yang suci yang telah menjadikan Daku tujuan mereka satu-satunya.
Daku tidak berminat untuk menyandang dan menikmati KeEsaanKu
dan KeagunganKu Yang Transendental ini.”
65. ”Karena para pemuja ini meninggalkan rumah-rumah, istri-istri, anak-anak, keluarga, kekayaan dan bahkan kehidupan mereka demi pengabdian kepadaKu,
dengan tanpa pamrih dan hasrat-hasrat duniawi ini maupun demi kehidupan-kehidupan mendatang,
maka bagaimana mungkin Daku dapat meninggalkan para pemuja-pemujaKu.”
66. ”Ibarat para istri yang setia yang mengendalikan suami mereka dengan bakti para istri ini,
demikian juga halnya dengan para pemujaKu yang tulus dan murni,
yang berderajat sama dengan semua insan yang secara total tertambat di dalam relung KalbuKu yang terdalam,
dan menjadikan Daku berada di bawah kendali mereka secara penuh.”
67. ”Para pemuja-pemujaKu,
yang senantiasa puas dengan berbakti kepadaKu dengan penuh rasa kasih-sayang,
tidak akan tertarik akan empat prinsip kebebasan (yaitu : salokya, sarupya, samipya dan sarsti),
walaupun mereka secara langsung mendapatkan status-status ini akibat dari pemujaan dan bakti mereka.
Apalagi terhadap hal-hal yang tidak bersifat abadi
dan kebahagiaan semu yang terdapat di berbagai loka-loka tersebut.”
68. ”Para pemujaKu yang sejati selalu berada di dalam relung kalbuKu yang paling dalam,
dan Daku selalu berada di dalam hati mereka.
Para pemuja-pemujaKu tidak mengenal yang lain-lainnya kecuali Aku,
dan Aku tidak mengenal yang lain-lainnya selain mereka ini.”
69. ”Wahai brahmana,
Kunasehatkan kepadamu demi kebaikanmu sendiri.
Dengarkan kata-kataku ini.
Dengan melukai hati Maharaja Ambarisa, dikau telah bertindak secara egois.
Oleh sebab itu dikau harus segera menemuinya tanpa membuang-buang waktu sedetikpun.
Seseorang masuk ke dalam kawasan bencana begitu ia melawan seorang pemuja.
Demikianlah,
subjek itu lalu terimbas oleh bencana bukan yang dituju.
70. ”Bagi seorang brahmana,
kesucian berbakti
dan memuja
dan mempelajari ilmu pengetahuan adalah tindakan-tindakan yang menyucikan,
tetapi seandainya semua ini didapatkan oleh seseorang yang berperi-laku kasar, maka semua kesucian
dan ilmu pengetahuan ini lalu berubah menjadi sangat berbahaya.”
71. ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana,
dikau harus segera pergi ke Raja Ambarisa, putra Maharaja Naabhaaga. Semoga dikau mendapatkan semua karunia.
Seandainya dikau dapat memuaskan hati Maharaja Ambarisa,
maka pasti kedamaian akan datang beserta kepadamu.”
Dengan ini berakhirlah bab suci yang disebut : “Penghujatan kepada Maharaja Ambarisa oleh Durvasa Muni.”
Bagian II
“Penyelamatan Nyawa Durvasa Muni”
1. Sukadewa Goswami bersabda kepada Maharaja Parikesit :
“Sewaktu Sang Hyang Vishnu bersabda dan menasehati Durvasa Muni yang terganggu oleh Cakra Sudarsana, langsung saja sang resi kembali ke Sang Maharaja Ambarisa.
Dengan penuh rasa duka-cita
dan penyesalan yang teramat dalam beliau menyembah sang raja
dan menyentuh kedua telapak kakinya penuh rasa hormat.”
2. “Sewaktu sang resi menyentuh kakinya,
sang raja merasa teramat malu,
dan sewaktu menyaksikan bagaimana sang resi mulai menghaturkan puja-puji kepadanya,
sang raja merasa tertekan batinnya. Langsung saja Maharaja Ambarisa memanjatkan doa kepada Sang Sudharsana Cakra.”
3. “Berkatalah sang raja :
“Wahai Sudharsana,
Dikau adalah sang Agni,
Dikau juga adalah sang Surya dan Somah (rembulan),terutama,diantara semua yang terang benderang di langit.
Dikau adalah apah (air), Bumi, Langit, Udara dan kelima unsur sensual (suara, rasa, bentuk, dan sebagainya),
dan Dikau adalah indra-indra itu sendiri.”
4. “Wahai Dikau yang paling disegani (disayangi) oleh Acyuta (nama lain Yang Maha Esa),
Dikau memiliki beribu-ribu gerigi.
Wahai pemimpin dunia materi, penghancur semua jenis senjata, penampakan murni (dharsana) dari Tuhan Yang Maha Esa,
daku menghaturkan puja hormatku kepadaMu.
Sudilah kiranya melindungi dan mengampuni brahmana ini.”
5. “Wahai Sudharsana Cakra,
Dikau adalah agama,
Dikau adalah kebenaran,
Dikau adalah pernyataan-pernyataan yang penuh dorongan semangat, Dikaulah pengorbanan,
Dikau adalah penikmat semua pahala hasil pengorbanan,
Dikau adalah pengayom seisi alam-semesta ini,
dan Dikau adalah Teja Utama yang suci dan bersifat gaib dari pancaran Yang Maha Esa.
Dikau adalah dharsana murni,
oleh karena itu Dikau dikenal sebagai Sudharsana.
Semuanya ini diciptakan olehMu dan oleh karena itu Dikau adalah Yang Maha Hadir (Sarva-Atman).”
6. “Wahai Sudharsana Cakra,
Dikau memiliki pusat (as roda) yang teramat suci sifatnya,
oleh sebab itu Dikau adalah penegak semua agama.
Dikau ibarat sebuah komet yang dashyat dan pembasmi para asuras dan unsur-unsur adharma.
Sebenarnya Dikau adalah pemelihara ketiga loka (tri-loka),
Dikau penuh dengan pemahaman (pikiran),
Dikau penuh dengan berbagai ketakjuban. Daku hanya mampu mengutarakan kata “namah” bagimu sambil menghaturkan hormat bagiMu.”
7. “Wahai pemimpin dari berbagai pembicaraan,
dengan cahayaMu,
yang penuh dengan prinsip-prinsip dharma,
kegelapan dunia ini dapat diterangi,
dan ilmu pengetahuan timbul tercipta diantara para ilmuwan dan orang-orang suci.
Sebenarnya tiada seorangpun yang mampu melampaui CahayaMu,
karena setiap benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud,
yang bersifat agung dan kecil,
adalah semata-mata berbagai manifestasiMu yang hadir melalui CahayaMu.’
8. “Wahai Dikau Yang Tak Terkalahkan, sewaktu Dikau dikirimkan oleh yang Maha Kuasa ke antara.
Dikau menghancurkan dan memotong tangan-tangan, perut, kepala kaki dan berbagai organ para asuras ini.”
9. “Wahai pelindung alam semesta, Dikau dipergunakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai senjataNya yang maha ampuh demi membasmi berbagai musuh. Demi kebaikan seluruh jajaran dinasti, sudilah memaafkan brahmana yang miskin dan lemah ini.
Pengampunan ini akan merupakan anugrah bagi kami semua.”
10. “Seandainya keluarga kami telah menghaturkan dana-punia kepada orang-orang yang seharusnya menerima, seandainya kami telah melakukan berbagai upacara ritual dengan seksama, seandainya kami telah melaksanakan tugas kami sehari-hari dengan baik, seandainya kami telah dituntun dengan benar oleh para brahmana yang terpelajar,
kami memohon sebagai gantinya, brahmana ini dibebaskan dari api yang membara yang terpancar keluar dari Cakra Sudharsana ini.”
11. “Seandainya Tuhan Yang Maha Kuasa,
Yang Tak Terukur oleh sang waktu,
yang adalah sumber dari segala sifat gaib,
yang adalah kehidupan dan jiwa seluruh mahluk hidup,
memberkahi kami,
kami memohon agar brahmana ini, Durvasa Muni,
dibebaskan dari rasa sakitnya akibat terpanggang oleh api sang Sudharsana Cakra ini.”
12. Sri Sukadwa Goswami melanjutkan : “Sewaktu sang raja memanjatkan doa permohonan ini kepada Sang Sudharsana Cakra dan kepada Sang Hyang Vishnu, maka cakra Sudharsanapun berubah menjadi tenang
dan berhenti membara dan membakar brahmana yang disebut Durvasa Muni ini.”
13. Durvasa Muni yang teramat sakti ini, merasa sangat bahagia sewaktu terlepas dari siksaan bara api Sudharsana cakra ini.
Langsung saja ia memuja-muji keagungan sang Maharaja Ambarisa
dan memberkahi sang raja dengan parama asisahnya (memberkahi secara utama).
14. Durvasa Muni berkata : “Wahai raja yang kuhormati,
hari ini telah kualami keagungan para pemuja Tuhan Yang Maha Esa,
walaupun aku telah menganiayamu, tetapi sebaliknya dikau berdoa demi kesejahteraanku.”
15. “Bagi mereka-mereka yang telah mencapai strata Yang Maha Esa, pemimpin diantara para pemuja-pemuja sejati,
apakah yang mustahil
dan apakah yang tidak mungkin ditanggalkannya ?”
16. “Apa yang tidak mungkin bagi hamba-hamba Tuhan ?
Hanya dengan mendengarkan nama suciNya semata seseorang itu bisa disucikan.”
17. “Wahai raja,
daku sangat menyesali dosa-dosaku, dikau telah menyelamatkan jiwaku ini. Oleh karena itu daku sangat berhutang budi kepadamu karena dikau bersifat teramat pengampun.”
18. Sang Raja memang sudah menunggu kembalinya Durvasa Muni
dan selama masa menanti ini beliau mempertahankan puasanya.
Selanjutnya dengan kembalinya sang resi, Maharaja Ambarisa bersujud dan menyentuh kedua kaki sang resi, menghormatinya dan menyuguhkan santapan yang lezat kepadanya secara besar-besaran.
19. Demikianlah dengan penuh rasa hormat sang raja menyambut kembali Durvasa Muni,
yang setelah selesai bersantap berbagai hidangan yang teramat lezat merasa demikian bahagianya sehingga penuh dengan kasih-sayang yang melimpah memohon sang raja untuk berbuka puasa,
“silahkan bersantap wahai Raja !”
20. Berkatalah Durvasa muni :
“Aku merasa sangat bahagia dengan segala penerimaan dan penghormatanmu ini wahai raja yang kuhormati.
Pada mulanya aku berfikir bahwasanya dikau adalah manusia biasa dan menerima ajakan untuk bersantap bersamamu,
tetapi kemudian melalui jalan pikiranku, aku faham bahwa dikau adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa yang sangat terhormat dan agung.
Hanya dengan memandangmu,
dengan menyentuh kedua belah telapak kakimu dan berkata-kata denganmu,
daku merasa teramat berbahagia
dan telah berhutang budi dan nyawa kepadamu.”
21. “Selanjutnya setiap wanita yang suci yang berdiam di berbagai loka-loka di alam-semesta akan selalu menyenandungkan sifat-sifatmu yang tanpa cacat ini,
dan masyarakat dunia akan selalu mengagungkan kebesaranmu dari waktu ke waktu.”
22. Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini;
setelah puas dalam segala hal resi Durvasa yang konon teramat sakti
dan mistis ini memohon pamit kepada sang raja dengan tanpa henti-hentinya memuja sang raja.
Melalui berbagai titian jalan di langit, beliau menuju ke Brahma-loka yang merupakan sebuah sorga di mana hal-hal yang bersifat mubazir tidak hadir,
dan hanya didiami oleh mereka-mereka yang telah sadar.
23. Sementara pelarian Durvasa muni ke berbagai loka-loka,
maka Maharaja Ambarisa menantinya kembali dengan berpuasa makan dan hanya minum air demi menjaga dirinya.
24. Setahun berlalu sewaktu Durvasa Muni kembali kehadapan sang raja,
dan Maharaja Ambarisa langsung saja menghaturkan penghormatan
dan berbagai santapan yang bersifat suci dan satvik,
kemudian baru menyusul beliau ikut bersantap setelah sang resi memohonnya.
Sewaktu sang raja menyaksikan bagaimana sang resi ini selamat dari bara apinya Sudharsana-Cakra,
beliau langsung saja faham bahwa berkat karunia Yang Maha Esa,
beliau sendiri ternyata juga sakti mandraguna,
beliau juga langsung sadar bahwa semua itu bukan miliknya,
karena pada hakikatnya yang melaksanakan semua hal di dunia ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.
25. Berdasarkan iman yang tanpa pamrih ini,
juga berdasarkan bakti yang berkesinambungan,
Maharaja Ambarisa yang sebenarnya termasuk digjaya dan sakti-wirawan ini, memuja Paramatma dan Vasudewa (Yang Maha Esa),
dan karenanya selalu sempurna puja-baktinya.
Begitu dalam bakti beliau kepada Yang Maha Esa,
sehingga selalu beranggapan bahwa swarga atau loka yang tertinggi itu sama saja nilainya dengan neraka yang paling rendah statusnya.
26. Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini.
Selanjutnya dikarenakan tahap bakti
dan kesadarannya yang teramat tinggi, Maharaja Ambarisa, tidak berhasrat lagi terhadap kehidupan duniawinya,
dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya.
Beliau kemudian membagi-bagi kerajaannya kepada para putra-putranya yang konon sebaik dirinya,
dan memasuki tahap vanaprasta.
Beliau mengasingkan dirinya ke tepi sebuah lautan yang shanti demi pemusatan pikirannya ke Vasudewa (Yang Maha Esa).
27. Barangsiapa mengulang kisah ini kepada para pemuja yang lain-lainnya maka dipastikan ia akan berubah menjadi pemuja sejati Yang Maha Esa.
28. “Dengan karunia Yang Maha Esa, mereka-mereka yang mendengarkan kisah bhakta agung Maharaja Ambarisa ini dipastikan mendapatkan kebebasan spritual
dan menjadi seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa dalam sekejab.”
Dengan ini berakhirlah kisah
Maharaja Ambarisa dan Durvasa muni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar