Sabtu, 14 Oktober 2017

1. Proses pengorbanan

Perilaku sang pikiran akan selalu,
terombang-ambing oleh,
ombak penerimaan,
dan penolakan,
atas segala sesuatu hal.

Oleh karena itu,
dan bahkan sangat penting bagi kita untuk ingat bahwa;
kesemua dari pelaksanaan atas berbagai indra-indra manusia ini,
harus dipersembahkan (dengan kesadaran tentunya) kepada sang pikiran,
yang kemudian,
disalurkan ke dalam wacana (kata-kata) seseorang.

Dan kemudian,
kata-kata seseorang tersebut harus,
dipersembahkan ke bentuk intisari Omkara (pertama wacana orang tersebut dipersembahkan kedalam bentuk alfabet kemudian ke bentuk Omkara).

Lalu,
Omkara kemudian dipusatkan dan dipersembahkan,
ke titik bindu (di tengah-tengah alis mata),
dari bindu disalurkan melalui getaran ke suara (nada),
dan selanjutnya ke udara kehidupan (prana).

Tahukah dirimu,
apa kemudian yang tersisa dari hal tsb?
ketahuilah,
adapun yg tersisa adalah jiwa-raga seseorang yang harus dipersembahkan,
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
hal ini disebut sebagai,
proses pengorbanan.

PERINGATAN !!!
Ini adalah pengetahuan khusus,
yg hanya diperuntukkan bagi mereka,
yg berdedikasi sebagai siswa kedaton musaffir tundo 7.
dan pengetahuan yg tahap demi tahap ini,
hanya diterangkan melalui pembicaraan intern yg khusus,
artinya,
diterangkan secara personal.

Kunjungi :
Group facebook " jalan spiritualitas KEDATON MUSAFFIR TUNDO 7 "
Utk terhubung dg teman-teman di group.

Sabtu, 30 September 2017

Petungan nikah 1

Monggo sedulur diwaos... 😌😌😌

ITUNGAN JOWO.~~~~ RAMALAN JEJODOHAN ~~~~

Miturut wong jowo jejodohan kui iso di ramal songko wetone ( dino lan pasarane di tambah ) sing lanang lan wadon temune piro.
Etungane.
1. PEGAT.
2.  RATU.
3. JODOH.
4. TOPO.
5. TINARI.
6. PADU.
7. SUJANAN.
8. PESTHI.
Contoh :
~ LANANG lahir akad legi (akad 5 legi 5 jumlah 10)
~ WEDOK lahir seloso wage ( seloso 3 wage 4 jumlah 7 )
~ Berarti 10 + 7 = 17 ) utowo tibo PEGAT.
.
Lan iki penjelasane temone wong jejodohan.
1. PEGAT.
Yen tibo PEGAT bakal nemu masalah, mboh kui songko segi ekonomi, kekuasa'an, selingkuh sing akhir"e iso pegatan.
.
2. RATU.
Yen tibo RATU iki jodoh banget. Di ajeni karo tonggo teparo lan wongliyo. Akeh wong iri karo keharmonisane.
.
3. JODOH.
Yen tibo jodoh cocok siji karo sijine. Iso podo" nrimo keluwehan lan kekurangan. Omah" lancar teko tuwo.
.
4. TOPO.
Yen tibo TOPO iki awal"e susah nanging tembe mburi penak.
Awal"e kerep kenek masalah emboh kui songko segi ekonomi utowo liyone. Nanging yen wis nduwe anak lan wis suwe anggone omah" bakal mulyo uripe.
.
5. TINARI.
Yen tibo TINARI iki bakal nemu seneng.
Penak anggone golek rejeki lan ora sampek urip kekurangan. Penak'e tembung kerep nemu bejo anggone omah".
.
6. PADU.
Yen tibo PADU iki bakal sering tukaran. Nanging sejana saben ndino tukaran tapi ora sampek pegatan.
Mulo anggone omah" meh saben ndino tukaran emboh kui masalah opo ae.
.
7. SUJANAN.
Yen tibo SUJANAN iki kerep tukaran lan akeh" masalah selingkuh.
Emboh kui sing lanang po sing wadon opo malah loro"ne podo la nduwe selingkuhan.
.
8. PESTHI.
Yen tibo PESTHI iki omah"e bakal rukun, tentrem, adem ayem sampek tuwo.
Senajan eneng masalah opo ae ora bakal ngrusak keharmonisane.
.
Iki kabeh welinge simbah.
Mugo" sing gelem moco wawasane tambah.

»
1. PEGAT.
2. RATU.
3. JODOH.
4. TOPO.
5. TINARI.
6. PADU.
7. SUJANAN.
8. PESTHI.
9. PEGAT.
10. RATU.
11. JODOH.
12. TOPO.
13. TINARI.
14. PADU.
15. SUJANAN.
16. PESTHI.
17. PEGAT.
18. RATU.
19. JODOH.
20. TOPO.
21. TINARI.
22. PADU.
23. SUJANAN.
24. PESTHI.
25.  PEGAT.
26. RATU.
27. JODOH.
28. TOPO.
29. TINARI.
30. PADU.
31. SUJANAN.
32.  PESTHI.
33.  PEGAT.
34. RATU.
35. JODOH.
36. TOPO.

Jumat, 01 September 2017

Bhagavad Purana bab 3

BAB   III 

KISAH MAHARAJA AMBARISA

DAN DURVASA MUNI

   (Bagian ke I)

1.       Sukadewa Goswami bersabda kepada Raja Parikesit  :

“Putra Nabhaga yang bernama Naabhaaga hidup selama bertahun-tahun berguru di kediaman seorang guru spritualnya,
sehingga para saudara-saudaranya berpikir ia tidak akan kembali menjalani masa grhastanya.
Tanpa banyak berpikir mereka membagi-bagi harta kerajaan diantara mereka sendiri tanpa meninggalkan sisa apapun untuknya.
Sewaktu Naabhaaga kembali dari perguruannya,
mereka memberikan ayah mereka sebagai pembagiannya.”

2.       Naabhaga memohon,
“Wahai para saudara-saudaraku,
di manakah hak-hakku akan kekayaan ayahku ?”
Dan para kakak-kakaknya menjawab, “Kami telah menyisahkan ayah kami sebagai bagianmu.”
Tetapi sewaktu mengunjungi ayahnya dan menceritakan hal tersebut,
sang ayah menjawab : “Jangan dikau mendengarkan kata-kata mereka yang penuh dengan berbagai tipu-daya,
aku bukan milikmu.”

3.       Ayah Naabhaga berkata : “Keturunan Angira seluruhnya akan segera melakukan sebuah upacara pengorbanan,
dan walaupun mereka ini sangat cerdas, tetapi pada setiap hari keenam upacara mereka akan kacau-balau jalan pikirannya dan tidak akan mampu melanjutkan upacara pengorbanan dengan baik
dan mereka akan melakukan berbagai kesalahan dalam menunaikan kewajiban mereka sehari-hari.”

4/5.  Ayah Naabhaaga melanjutkan : “Pergilah ke para resi yang agung ini
dan jabarkan dua mantra Veda yang kuberikan kepadamu ini kepada mereka. Sewaktu mereka selesai dengan upacara pengorbanan mereka,
maka mereka semua akan pergi ke swargaloka,
mereka akan memberikan sisa harta-benda yang mereka terima untuk upacara ini kepadamu.
Jadi cepatlah pergi.”
Dan Naabhaagapun melaksanakan perintah ayahnya
dan berhasil mendapatkan kekayaan yang luar biasa dari para resi-resi ini yang kesemuanya berhasil moksha ke loka-loka lainnya.”

6.       ”Tak lama setelah Naabhaaga menerima kekayaan ini,
dari utara datang seseorang yang berkulit hitam-legam
dan berkata,”Seluruh harta-benda pengorbanan ini adalah milikku.”

7.       Naabhaaga kemudian berkata, “Semua kekayaan ini adalah milikku,
para resi yang agung telah menganugrahkannya kepadaku.
Setelah ia selesai dengan ucapannya,
pria hitam ini kemudian berkata,
”Kalau begitu kita harus pergi ke tempat ayahmu dan memintanya untuk menuntaskan masalah ini,
” Dan Naabhaaga pun setuju dengan usul ini.”

8.       Sabda ayah Naabhaga :
“Apapun yang telah dipersembahkan oleh para resi agung di arena pengorbanan Daksa-Yajna itu,
sebenarnya diperuntukkan bagi Dewa Shiwa,
jadi semua persembahan tersebut adalah miliknya semata.”

9.       ”Selanjutnya,
dengan penuh rasa hormat dan sembah sujud ke Dewa Shiwa,
Naabhaaga berkata : “Wahai Tuhan yang kupuja,
semua di arena itu adalah milikMu.
Aku tunduk pada sabda-sabda ayahku. Sekarang penuh rasa hormat,
aku bersujud kepadaMu,
sudilah mengampuniku.”

10.    Dewa Shiwa bersabda :
“Apapun yang telah dikatakan oleh ayahmu adalah benar,
dan yang dikau katakan pun adalah kebenaran yang sama.
Oleh karena itu,
Aku yang memahami mantra-mantra Veda-Veda,
akan menjabarkan ilmu pengetahuan transendental (mistik/spritual) kepadamu.”

11.    ”Dewa Shiwa bersabda :
“Sekarang dikau boleh mendapatkan semua sisa harta-benda pengorbanan ini, karena ku anugrahkan kepadamu.” Setelah berkata demikian,
Dewa Shiwa, yang teramat sakti ini dan sangat taat pada ajaran dharma (dharma-vatsalah) sirna dari tempat tersebut.”

12.    ”Seandainya seseorang mendengar dan mengulang atau mengingat sloka-sloka di atas setiap pagi dan petang penuh dengan perhatian,
maka orang tersebut pasti akan berubah menjadi terpelajar,
penuh dengan pengertian akan ajaran Veda,
dan tangkas dalam mendapatkan kesadaran tentang Sang Jati Diri.”

13.    ”Dari Nabhaagaa lahirlah Maharaja Ambarisa.
Maharaja Ambarisa dikenal sebagai seorang pemuja yang dihormati sekali oleh para resi dan rakyatnya,
beliau dipuja-puji karena berbagai kebajikan dan bakti beliau baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Walaupun ia dikutuk oleh seorang brahmana sakti,
ternyata kutukan tersebut tidak mampu menyentuhnya.”

14.    ”Raja Parikesit bertanya :
“Wahai resi yang mulai,
Maharaja Ambarisa adalah seorang yang terhormat
dan penuh dengan kebajikan.
Kami ingin tahu lebih banyak tentang beliau.
Sangat menakjubkan bahwa kutukkan dari brahmana yang sedemikian dashyat kesaktiannya tidak mampu menyentuhnya.”

15/16.  Resi Sukadewa Goswani berucap : “Maharaja Ambarisa adalah seorang yang amat beruntung,
beliau menguasai seluruh dunia yang terdiri dari 7 benua
dan sang maharaja ini telah mencapai status yang tak terkalahkan
dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas
dan kemakmuran yang amat sangat di atas muka bumi ini.
Walaupun status semacam ini sulit dicapai oleh seorang manusia,
Maharaja Ambarisa sebaliknya tidak pernah mengacuhkan semua itu,
karena beliau sadar semua kemegahan ini bersifat ilusi duniawi
dan serba materi,
dan suatu saat pasti akan hancur.
Sang maharaja sadar sekali bahwa semua itu merupakan godaan yang dapat menyeretnya ke sidhi
(dunia kegelapan yang penuh dengan kesaktian dan kemakmuran).”

17.    ”Maharaja Ambarisa adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu Vasudewa,
dan berada dalam jajaran para kaum suci yang memuja Yang Maha Esa.
Karena baktinya yang sedemikian kuat beliau beranggapan bahwa seisi alam semesta ini ibaratnya hanya sebuah batu biasa.” 

18/19/20.  ”Maharaja Ambarisa dalam semadinya selalu berfokus ke telapak kaki padma Sang Krishna,
beliau selalu memuja-muji Keagungan Yang Maha Esa,
tangan beliau secara pribadi selalu membersihkan berbagai tempat pemujaan Yang Maha Esa.
Telinganya selalu mendengarkan sabda-sabda Sang Krishna
atau hal-hal mengenai Sang Krishna. Beliau sangat memperhatikan tempat-tempat ibadah Sang Krishna seperti Mathura dan Vrandavana.
Beliau juga selalu menyentuh dengan penuh hormat kaki semua bakta Sang Krishna,
dan penciuman hidungnya selalu diarahkan ke daun-daun Tulasi yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa, dan lidahnya selalu menikmati berbagai prashadam bagi Yang Maha esa.
Kedua kaki beliau selalu digerakkan dan diarahkan ke tempat-tempat suci Yang Maha Esa,
dan selama 24 jam sehari-harinya beliau bersujud
dan memuja Tuhan Yang Maha Esa sambil memasrahkan secara total seluruh hasrat-hasrat duniawinya kepada Sang Krishna Vasudewa.
Sebenar-benarnya beliau tidak pernah menghasratkan sesuatu bagi kenikmatan indra-indranya secara pribadi.
Seluruh indra-indra di tubuhnya diarahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai bakti beliau. Inilah cara (upaya) demi merapat lebih erat dengan Tuhan Yang Maha Esa
dan secara total menjauhi berbagai hasrat duniawi.”

21.    ”Dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-harinya sebagai raja,
Maharaja Ambarisa selalu mempasrahkan hasil dari berbagai pelaksanaannya kepada Yang Maha Esa, yang adalah penikmat dan penentu semua tindakan-tindakannya
dan begitu juga Yang Maha Esa adalah juga penentu hasil dari semua tindakan yang jauh dari persepsi duniawi ini.
Beliau selalu meminta berbagai pendapat dan nasehat dari para brahmana yang berbakti kepada Yang Maha Esa secara amat setia,
dengan demikian beliau menguasai planet bumi ini tanpa kesulitan.”

22.    ”Di negara-negara yang bergurun pasir di mana sungai Sarasvati mengalir, Maharaja Ambarisa telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan seperti Asvamedha-yagna dan telah memuaskan Yang Maha Esa,
Penguasa Utama seluruh yagna (Yajna). Berbagai upacara ini dilaksanakan penuh dengan perhatian dan memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan dan lengkap dengan berbagai daksina bagi para brahmana yang hadir dan berpartisipasi,
yang dipimpin oleh Resi Vasistha, Asita, dan Gautama, yang mewakili Sang Raja, pelaksana berbagai upacara suci ini.”

23.    ”Pengorbanan (Yajna) yang diselenggarakan oleh Maharaja Ambarisa ini dihadiri oleh para anggota dewan negara dan para pendeta yang terdiri dari berbagai golongan yang kesemuanya mengenakan jubah-jubah kebesaran, mereka semua terkesan mirip para dewa. Dengan mata yang bersinar-sinar mereka menyaksikan dengan penuh perhatian penyelenggaraan yajna ini.”

24.    ”Penduduk di kerajaan Maharaja Ambarisa sudah terbiasa dengan berbagai aktifitas dan puja-puji spritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
para penduduk ini ikut melakukan berbagai upacara ini tanpa mengharap sedikitpun agar dapat moksha atau pergi ke berbagai swarga-loka,
walaupun mereka juga sadar bahwa loka-loka ini menjadi dambaan para dewa sekalipun.”

25.    ”Mereka-mereka yang telah larut dalam kebahagian transendental dengan berbakti kepada Yang Maha Esa tidak tertarik akan kesaktian
dan berbagai kedashyatan para kaum mistik,
karena mereka sadar bahwa faktor tersebut adalah halangan bagi pencapaian karunia sejati Yang Maha Esa yang dapat dirasakan di dalam hati sanubari seorang pemuja yang senantiasa berpikir akan Yang Maha Esa dan memujaNya dari bagian relung kalbunya yang paling dalam.”

26.    ”Maharaja Ambarisa sebagai penguasa planet bumi ini,
khusus demi upacara ini melaksanakannya penuh bakti dan berupawasa (tapa-brata dan berpuasa) yang sangat berat dan penuh disiplin. Dengan senantiasa berpikir untuk memuaskan Yang Maha Esa sewaktu melaksanakan bakti spritualnya,
beliau mengesampingkan seluruh nafsu-nafsu duniawinya secara bertahap.”

27.    ”Maharaja Ambarisa menanggalkan semua ikatan-ikatan kekeluargaannya termasuk dengan para istri, putra-putri, teman-teman dan handai-taulan,
bahkan dengan hewan-hewan peliharaan yang teramat prima seperti koleksi gajah dan kuda,
kereta-kereta perang dan emas permata, berbagai perhiasan,
jubah-jubah yang mewah
dan harta benda yang serba gemerlapan ditinggalkan semua,
karena beliau beranggapan semua ini sebagai tidak abadi dan bersifat materi duniawi belaka.”

28.    ”Tuhan Yang Maha Esa (Hari) yang teramat puas dan bahagia akan bakti yang teramat tekun
dan penuh dedikasi ini menganugerahkan cakraNya kepada sang maharaja,
agar beliau selalu terhindar dari segala mara-bahaya dan serangan-serangan para musuhnya.”

29.    ”Maharaja Ambarisa yang berhasrat memuja Sri Krishna Vasudewa,
beserta istrinya yang tidak kalah imannya dari sang suami,
beritikad untuk melakukan tapa-brata Ekadasi dan Dvadasi dengan berpuasa selama setahun penuh.”

30.    ”Pada bulan Kartika,
setelah menjalankan tapa-bratanya selama setahun,
dan berpuasa selama tiga hari selanjutnya,
dan setelah bersiram diri di sungai Yamuna,
Maharaja Ambarisa memuja Sang Hari, Tuhan Yang Maha Penyayang,
di suatu lokasi yang disebut Madhuvana.”

31/32. ”Maharaja Ambarisa melaksanakan upacara pemandian Arca Sang Krishna Vasudewa
sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dengan segala ragam tata upacara yang seharusnya,
kemudian beliau mengenakan kepada arca tersebut berbagai pakaian kebesaran,
perhiasan,
kalungan-kalungan bunga yang serba bermutu prima.
Dengan seksama dan penuh bakti,
beliau memuja Sri Krishna
dan juga menghaturkan puja bagi semua brahmana yang berbahagia yang lepas dari berbagai nafsu duniawi.”

33/34/35.  ”Selanjutnya Maharaja Ambarisa memuaskan hati semua tamu yang hadir dengan berbagai sesajian dan lain sebagainya,
khususnya para brahmana yang hadir mendapatkan perhatian yang penuh dan teramat khusus.
Beliau menyumbangkan 60 ksor (600 juta) ekor sapi yang masing-masing tanduknya berlapiskan emas
dan bagian lehernya berkalungkan perhiasan yang berlapisan perak.
Semua sapi-sapi ini berhiaskan kain dan disertai kantung-kantung susu yang penuh.
Semua sapi-sapi ini nampak sangat jinak, berusia muda
dan sangat menawan
dan disertai oleh anak-anak sapi mereka. Setelah mempersembahkan sapi-sapi ini, sang raja secara penuh perhatian mempersembahkan santapan bagi semua brahmana yang hadir,
dan setelah mereka semua telah terpuaskan,
maka dengan izin mereka Sang Raja lalu memutuskan untuk mengakhiri puasa Ekadasinya.
Dan tepat pada saat itu,
hadir seorang resi agung dan teramat sakti mandraguna,
tanpa diundang.”

36.    ”Setelah berdiri dari tempat duduknya
dan menerima Durvasa Muni,
Raja Ambarisa mempersilakan sang resi untuk duduk bersama,
kemudian sang resi dihormati seperti layaknya menghormati seorang resi yang agung.
Setelah menyentuh kedua telapak kaki sang resi,
Maharaja Ambarisa mempersilakan beliau untuk berbuka puasa secara bersama-sama.”

37.    ”Dengan senang hati Durwasa Muni menerima ajakan bersantap bersama ini, tetapi beliau meminta waktu agar dapat melakukan ritual kebiasaannya dahulu.
Di sungai Yamuna yang airnya dianggap sangat suci
dan ia bersemadi ke arah Sang Brahman.”

38.  ”Sementara itu hanya sedikit sesajen upacara hari Dvadasi yang tersisa untuk berbuka puasa.
Sehingga mau tidak mau sang raja harus cepat-cepat berbuka puasa.
Dalam situasi yang teramat kritis ini, sang raja memohon nasehat dari para brahmana yang hadir.”

39/40. Sang raja berkata :
“Adalah suatu pelanggaran yang berat seandainya kami tidak menghormati para brahmana.
Dan pada saat yang sama seandainya tidak segera berbuka puasa berarti janji puasa kami selama kurun waktu setahun akan terlanggar.
Oleh sebab itu wahai brahmana seandainya anda semua beranggapan bahwa adalah suatu tindakan yang suci dan tidak melanggar kaedah-kaedah agama,
perkenankan kami berbuka puasa dengan meneguk air.
Dengan cara ini,
setelah mendapatkan masukan dari para brahmana,
sang raja meneguk sedikit air,
yang menurut para brahmana ini,
tidak dianggap menyantap ataupun tidak menyantap sesuatu.”

41.    ”Wahai yang terbaik,
di antara jajaran dinasti Kuru,
setelah meneguk sedikit air,
Raja Ambarisa bersemedi dengan menunjukan pikirannya ke arah Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam relung hatinya,
sambil menunggu kembalinya resi Durvasa Muni.”

42.    ”Setelah menyelesaikan berbagai upacara ritual siang hari,
Resi Durvasa meninggalkan tepian sungai Yamuna.
Sang raja menyambutnya dengan baik, penuh segala kehormatan,
namun Durvasa Muni,
melalui kesaktiannya memahami bahwa Raja Ambarisa telah berbuka puasa dengan meneguk air tanpa seizin sang resi.”

43.    ”Durvasa Muni yang masih dalam keadaan lapar,
dan bergetar tubuhnya,
dengan kedua alisnya yang terangkat akibat geramnya,
murka sekali kepada sang raja yang berdiri di depannya dengan kedua tangan yang terkatub.”

44.    ”Aduh,
coba lihat kelakuan orang jahat ini !
Ia bukan pemuja dewa Vishnu.
Karena merasa sombong akan kekayaan dan kedudukannya,
ia merasa dirinya seakan-akan telah menjadi Tuhan itu sendiri.
Coba perhatikan bagaimana ia telah melanggar peraturan-peraturan agama.”

45.    ”Maharaja Ambarisa,
dikau telah mengundangku sebagai seorang tamu untuk bersantap,
tetapi dikau telah bersantap lebih dahulu. Oleh karena ulahmu ini,
akan kuperlihatkan sesuatu untuk menghukummu.”

46.    ”Pada saat Durvasa Muni berkata demikian wajahnya memerah penuh rasa angkara-murka.
Ia mencabut sejumput rambut dari kepalanya,
dan menciptakan seorang iblis yang mirip api yang berkobar-kobar secara dashyat untuk menghukum Maharaja Ambarisa.”

47.    ”Bersenjatakan sejenis trisula
dan menggetarkan permukaan bumi ini dengan langkah-langkah kakinya,
mahluk api ini mendekati Maharaja Ambarisa.
Namun sang raja tidak merasa terganggu oleh kehadiran mahluk ini
dan tidak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri.”

48.   ”Ibarat api di hutan yang membakar habis ular yang marah menjadi abu, dengan perintah Yang Maha Kuasa,
maka Sudharsana Cakra milik Sang Hyang Vishnu pun tiba-tiba muncul
dan memusnahkan iblis tersebut menjadi abu dalam sekejab.
Demikian ini cara Beliau menjaga para pemuja-pemujaNya.”

49.    ”Menyaksikan kegagalannya,
dan nampak bahwa Cakra Sudharsana sedang menuju ke arahnya,
Durvasa Muni menjadi sangat ketakutan dan mencoba berlari ke segala arah demi menyelamatkan hidupnya.”

50.    ”Ibarat api di hutan yang mengejar seekor ular,
cakra Yang Maha Esa ini pun mengejar terus Durvasa Muni ke arah manapun ia berlari.
Durvasa Muni melihat bahwa cakra ini hampir-hampir saja membelah punggungnya,
ia langsung saja lari dan masuk ke sebuah gua yang terdapat di gunung Sumeru.”

51.    ”Namun Sang Cakra mengejarnya ke manapun ia bergerak baik itu di langit, atau di darat,
baik itu di dalam berbagai gua atau di dalam samudera,
bahkan resi ini dikejar terus sewaktu ia terbang ke berbagai loka-loka dan planet-planet di alam semesta ini.
Kemanapun ia pergi ia akan selalu tersusul oleh api Sudharsana Cakra yang tak tertahankan baranya ini.”

52.    ”Dengan penuh rasa ketakutan, Durvasa Muni pergi kesana kemari mencari perlindungan,
tetapi sia-sia saja,
dan akhirnya ia terbang  ke Brahma-Loka dan mengharap ke dewa Brahma.
“Wahai Dewataku,
wahai dewa Brahma,
mohon kami dilindungi dari kobaran api Sudharsana Cakra yang dikirimkan oleh Yang Maha Esa ini.”

53/54. ”Dewa Brahmapun bersabda : “Pada saat dwi-parardha,
sewaktu seluruh ciptaan masa lalu selesai siklusnya,
maka Dewa Vishnu, dengan sebuah kerlingan bulu-bulu matanya akan melenyapkan seisi alam semesta ini termasuk di dalamnya itu brahma-loka tempat kediaman kami ini.
Dewa-dewa jajaran kami ini,
seperti Dewa Shiwa,
juga para Daksa,
Berghu
dan berbagai orang-orang suci
dan penguasa-penguasa berbagai bentuk kehidupan,
manusia-manusia,
dan para dewa-dewi......kami semua tunduk menyerahkan diri kami semua ini kepada Dewa Vishnu
yang adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri.
Sambil menundukkan kepala kami,
kami bersujud demi melaksanakan segala perintah-perintahNya
demi kepentingan semua bentuk kehidupan di alam semesta ini.”

55.    ”Sewaktu Durwasa yang kepanasan oleh api Sudharsana Cakra ini ditolak oleh Dewa Brahma,
ia langsung terbang ke bersemayamnya Dewa Shiwa di Kailasa memohon bantuan.”

56.    Namun Dewa Shiwa,
bersabda : 
“Wahai anakku,
kami dan Dewa Brahma dan jajaran dewa-dewi lainnya,
bergerak melingkar di dalam alam semesta ini di bawah kebesaran kami yang merupakan sebuah konsep (spritual) yang salah,
karena kami semua sebenarnya tidak memiliki kesaktian apapun juga untuk melawan Kekuasaan Yang Maha Esa, karena tidak terhitung jumlahnya alam-alam semesta yang telah diciptakanNya dan yang telah dimusnahkanNya dengan sedikit arahanNya saja.”

57/58. ”Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dapat kufahami (demikian sabda dewa Shiwa),
dan juga oleh para Sanatkumara, Narada, yang maha terhormat Dewa Brahma, Kapila (putra Dewahuti), Apantaratama (Vyasadewa), Dewala, Yamaraja, Asuri, Marici dan berbagai orang-orang suci yang dipimpinnya,
juga oleh mereka-mereka yang telah mendapatkan anugrah keabadian.
Namun begitu,
karena kami semua terbungkus oleh kekuatan ilusi Yang Maha Kuasa,
maka kami semua tidak bisa memahami akan Kebesaran dan Keagungan dari Zat (energi) ini.
Anda sebenarnya langsung saja ke Beliau Yang Maha Kuasa agar mendapatkan pembebasan,
karena Sudharsana Cakra ini tidak tertahankan bahkan oleh kami.
Pergilah langsung ke Dewa Vishnu,
Beliau pasti akan melindungi dan mengayomimu.”

60.    ”Selanjutnya kecewa karena ditolak oleh dewa Shiwa,
terbanglah Durwasa Muni ke Vaikuntha-loka dimana bersemayam Yang Maha Esa dalam wujud Maha Vishnu yaitu Narayana,
didampingi oleh Laksmi,
saktinya yang berwujud Dewi Kemakmuran.”

61.    ”Durwasa Muni,
resi yang sakti mandraguna ini,
lemas karena terbakar oleh bara api Sudharsana Cakra,
jatuhlah ia di kedua telapak kaki Hyang Narayana.
Seluruh tubuhnya gemetar,
ia mengatakan :
“Wahai Dikau Yang Maha Kuasa,
Yang Tak terbatas,
Pengayom seisi alam semesta ini,
hanya Dikau semata yang menjadi tujuan semua pemuja.
Daku adalah penyandang dosa yang terbesar,
Tuhanku, mohon kami dilindungi olehMu.”

62.    ”Wahai Tuhanku,
Yang Maha Pengendali,
tanpa kusadari akan keagunganMu yang tak terbatas,
daku telah berbuat dosa terhadap pemujaMu yang teramat Dikau kasihi. Dikau adalah Maha Pelaksana,
walau seseorang harus masuk ke Neraka, dapat Dikau selamatkan hanya karena orang tersebut mengingat namaMu di dalam hatinya.”

63.    Hyang Narayana,
Yang Maha Esa bersabda kepada resi Durvasa Muni :
“Daku ini secara keseluruhan berada di bawah kendali para pemuja-pemujaKu. Daku sebenarnya tidak bisa bebas dari pemuja-pemujaKu.
Karena semua pemuja-pemujaKu ini telah bebas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi mereka,
Daku bersemayam di setiap hati para pemuja-pemujaKu.
Bagaimana daku harus menggambarkan kebesaran para pemuja-pemujaKu ini, mereka-mereka yang bahkan adalah pemuja dari pemujaKu adalah kesayanganKu juga.”

64.    ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana,
tanpa mereka-mereka yang suci yang telah menjadikan Daku tujuan mereka satu-satunya.
Daku tidak berminat untuk menyandang dan menikmati KeEsaanKu
dan KeagunganKu Yang Transendental ini.”

65.    ”Karena para pemuja ini meninggalkan rumah-rumah, istri-istri, anak-anak, keluarga, kekayaan dan bahkan kehidupan mereka demi pengabdian kepadaKu,
dengan tanpa pamrih dan hasrat-hasrat duniawi ini maupun demi kehidupan-kehidupan mendatang,
maka bagaimana mungkin Daku dapat meninggalkan para pemuja-pemujaKu.”

66.    ”Ibarat para istri yang setia yang mengendalikan suami mereka dengan bakti para istri ini,
demikian juga halnya dengan para pemujaKu yang tulus dan murni,
yang berderajat sama dengan semua insan yang secara total tertambat di dalam relung KalbuKu yang terdalam,
dan menjadikan Daku berada di bawah kendali mereka secara penuh.”

67.    ”Para pemuja-pemujaKu,
yang senantiasa puas dengan berbakti kepadaKu dengan penuh rasa kasih-sayang,
tidak akan tertarik akan empat prinsip kebebasan (yaitu : salokya, sarupya, samipya dan sarsti),
walaupun mereka secara langsung mendapatkan status-status ini akibat dari pemujaan dan bakti mereka.
Apalagi terhadap hal-hal yang tidak bersifat abadi
dan kebahagiaan semu yang terdapat di berbagai loka-loka tersebut.”

68.    ”Para pemujaKu yang sejati selalu berada di dalam relung kalbuKu yang paling dalam,
dan Daku selalu berada di dalam hati mereka.
Para pemuja-pemujaKu tidak mengenal yang lain-lainnya kecuali Aku,
dan Aku tidak mengenal yang lain-lainnya selain mereka ini.”

69.    ”Wahai brahmana,
Kunasehatkan kepadamu demi kebaikanmu sendiri.
Dengarkan kata-kataku ini.
Dengan melukai hati Maharaja Ambarisa, dikau telah bertindak secara egois.
Oleh sebab itu dikau harus segera menemuinya tanpa membuang-buang waktu sedetikpun.
Seseorang masuk ke dalam kawasan bencana begitu ia melawan seorang pemuja.
Demikianlah,
subjek itu lalu terimbas oleh bencana bukan yang dituju.

70.    ”Bagi seorang brahmana,
kesucian berbakti
dan memuja
dan mempelajari ilmu pengetahuan adalah tindakan-tindakan yang menyucikan,
tetapi seandainya semua ini didapatkan oleh seseorang yang berperi-laku kasar, maka semua kesucian
dan ilmu pengetahuan ini lalu berubah menjadi sangat berbahaya.”

71.    ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana,
dikau harus segera pergi ke Raja Ambarisa, putra Maharaja Naabhaaga. Semoga dikau mendapatkan semua karunia.
Seandainya dikau dapat memuaskan hati Maharaja Ambarisa,
maka pasti kedamaian akan datang beserta kepadamu.” 

Dengan ini berakhirlah bab suci yang disebut : “Penghujatan kepada Maharaja Ambarisa oleh Durvasa Muni.”

Bagian  II

“Penyelamatan Nyawa Durvasa Muni”

1.       Sukadewa Goswami bersabda kepada Maharaja Parikesit  :
“Sewaktu Sang Hyang Vishnu bersabda dan menasehati Durvasa Muni yang terganggu oleh Cakra Sudarsana, langsung saja sang resi kembali ke Sang Maharaja Ambarisa.
Dengan penuh rasa duka-cita
dan penyesalan yang teramat dalam beliau menyembah sang raja
dan menyentuh kedua telapak kakinya penuh rasa hormat.”

2.       “Sewaktu sang resi menyentuh kakinya,
sang raja merasa teramat malu,
dan sewaktu menyaksikan bagaimana sang resi mulai menghaturkan puja-puji kepadanya,
sang raja merasa tertekan batinnya. Langsung saja Maharaja Ambarisa memanjatkan doa kepada Sang Sudharsana Cakra.”

3.       “Berkatalah sang raja :
“Wahai Sudharsana,
Dikau adalah sang Agni,
Dikau juga adalah sang Surya dan Somah (rembulan),terutama,diantara semua yang terang benderang di langit.
Dikau adalah apah (air), Bumi, Langit, Udara dan kelima unsur sensual (suara, rasa, bentuk, dan sebagainya),
dan Dikau adalah indra-indra itu sendiri.”

4.       “Wahai Dikau yang paling disegani (disayangi) oleh Acyuta (nama lain Yang Maha Esa),
Dikau memiliki beribu-ribu gerigi.
Wahai pemimpin dunia materi, penghancur semua jenis senjata, penampakan murni (dharsana) dari Tuhan Yang Maha Esa,
daku menghaturkan puja hormatku kepadaMu.
Sudilah kiranya melindungi dan mengampuni brahmana ini.”

5.       “Wahai Sudharsana Cakra,
Dikau adalah agama,
Dikau adalah kebenaran,
Dikau adalah pernyataan-pernyataan yang penuh dorongan semangat, Dikaulah pengorbanan,
Dikau adalah penikmat semua pahala hasil pengorbanan,
Dikau adalah pengayom seisi alam-semesta ini,
dan Dikau adalah Teja Utama yang suci dan bersifat gaib dari pancaran Yang Maha Esa.
Dikau adalah dharsana murni,
oleh karena itu Dikau dikenal sebagai Sudharsana.
Semuanya ini diciptakan olehMu dan oleh karena itu Dikau adalah Yang Maha Hadir (Sarva-Atman).”

6.       “Wahai Sudharsana Cakra,
Dikau memiliki pusat (as roda) yang teramat suci sifatnya,
oleh sebab itu Dikau adalah penegak semua agama.
Dikau ibarat sebuah komet yang dashyat dan pembasmi para asuras dan unsur-unsur adharma.
Sebenarnya Dikau adalah pemelihara ketiga loka (tri-loka),
Dikau penuh dengan pemahaman (pikiran),
Dikau penuh dengan berbagai ketakjuban. Daku hanya mampu mengutarakan kata “namah” bagimu sambil menghaturkan hormat bagiMu.”

7.       “Wahai pemimpin dari berbagai pembicaraan,
dengan cahayaMu,
yang penuh dengan prinsip-prinsip dharma,
kegelapan dunia ini dapat diterangi,
dan ilmu pengetahuan timbul tercipta diantara para ilmuwan dan orang-orang suci.
Sebenarnya tiada seorangpun yang mampu melampaui CahayaMu,
karena setiap benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud,
yang bersifat agung dan kecil,
adalah semata-mata berbagai manifestasiMu yang hadir melalui CahayaMu.’

8.       “Wahai Dikau Yang Tak Terkalahkan, sewaktu Dikau dikirimkan oleh yang Maha Kuasa ke antara.
Dikau menghancurkan dan memotong tangan-tangan, perut, kepala kaki dan berbagai organ para asuras ini.”

9.       “Wahai pelindung alam semesta, Dikau dipergunakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai senjataNya yang maha ampuh demi membasmi berbagai musuh. Demi kebaikan seluruh jajaran dinasti, sudilah memaafkan brahmana yang miskin dan lemah ini.
Pengampunan ini akan merupakan anugrah bagi kami semua.”

10.  “Seandainya keluarga kami telah menghaturkan dana-punia kepada orang-orang yang seharusnya menerima, seandainya kami telah melakukan berbagai upacara ritual dengan seksama, seandainya kami telah melaksanakan tugas kami sehari-hari dengan baik, seandainya kami telah dituntun dengan benar oleh para brahmana yang terpelajar,
kami memohon sebagai gantinya, brahmana ini dibebaskan dari api yang membara yang terpancar keluar dari Cakra Sudharsana ini.”

11.  “Seandainya Tuhan Yang Maha Kuasa,
Yang Tak Terukur oleh sang waktu,
yang adalah sumber dari segala sifat gaib,
yang adalah kehidupan dan jiwa seluruh mahluk hidup,
memberkahi kami,
kami memohon agar brahmana ini, Durvasa Muni,
dibebaskan dari rasa sakitnya akibat terpanggang oleh api sang Sudharsana Cakra ini.”

12.  Sri Sukadwa Goswami melanjutkan : “Sewaktu sang raja memanjatkan doa permohonan ini kepada Sang Sudharsana Cakra dan kepada Sang Hyang Vishnu, maka cakra Sudharsanapun berubah menjadi tenang
dan berhenti membara dan membakar brahmana yang disebut Durvasa Muni ini.”

13.  Durvasa Muni yang teramat sakti ini, merasa sangat bahagia sewaktu terlepas dari siksaan bara api Sudharsana cakra ini.
Langsung saja ia memuja-muji keagungan sang Maharaja Ambarisa
dan memberkahi sang raja dengan parama asisahnya (memberkahi secara utama).

14.  Durvasa Muni berkata : “Wahai raja yang kuhormati,
hari ini telah kualami keagungan para pemuja Tuhan Yang Maha Esa,
walaupun aku telah menganiayamu, tetapi sebaliknya dikau berdoa demi kesejahteraanku.”

15.  “Bagi mereka-mereka yang telah mencapai strata Yang Maha Esa, pemimpin diantara para pemuja-pemuja sejati,
apakah yang mustahil
dan apakah yang tidak mungkin ditanggalkannya ?”

16.  “Apa yang tidak mungkin bagi hamba-hamba Tuhan ?
Hanya dengan mendengarkan nama suciNya semata seseorang itu bisa disucikan.”

17.  “Wahai raja,
daku sangat menyesali dosa-dosaku, dikau telah menyelamatkan jiwaku ini. Oleh karena itu daku sangat berhutang budi kepadamu karena dikau bersifat teramat pengampun.”

18.  Sang Raja memang sudah menunggu kembalinya Durvasa Muni
dan selama masa menanti ini beliau mempertahankan puasanya.
Selanjutnya dengan kembalinya sang resi, Maharaja Ambarisa bersujud dan menyentuh kedua kaki sang resi, menghormatinya dan menyuguhkan santapan yang lezat kepadanya secara besar-besaran.

19.  Demikianlah dengan penuh rasa hormat sang raja menyambut kembali Durvasa Muni,
yang setelah selesai bersantap berbagai hidangan yang teramat lezat merasa demikian bahagianya sehingga penuh dengan kasih-sayang yang melimpah memohon sang raja untuk berbuka puasa,
“silahkan bersantap wahai Raja !”

20.  Berkatalah Durvasa muni :
“Aku merasa sangat bahagia dengan segala penerimaan dan penghormatanmu ini wahai raja yang kuhormati.
Pada mulanya aku berfikir bahwasanya dikau adalah manusia biasa dan menerima ajakan untuk bersantap bersamamu,
tetapi kemudian melalui jalan pikiranku, aku faham bahwa dikau adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa yang sangat terhormat dan agung.
Hanya dengan memandangmu,
dengan menyentuh kedua belah telapak kakimu dan berkata-kata denganmu,
daku merasa teramat berbahagia
dan telah berhutang budi dan nyawa kepadamu.”

21.  “Selanjutnya setiap wanita yang suci yang berdiam di berbagai loka-loka di alam-semesta akan selalu menyenandungkan sifat-sifatmu yang tanpa cacat ini,
dan masyarakat dunia akan selalu mengagungkan kebesaranmu dari waktu ke waktu.”

22.  Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini;
setelah puas dalam segala hal resi Durvasa yang konon teramat sakti
dan mistis ini memohon pamit kepada sang raja dengan tanpa henti-hentinya memuja sang raja.
Melalui berbagai titian jalan di langit, beliau menuju ke Brahma-loka yang merupakan sebuah sorga di mana hal-hal yang bersifat mubazir tidak hadir,
dan hanya didiami oleh mereka-mereka yang telah sadar.

23.  Sementara pelarian Durvasa muni ke berbagai loka-loka,
maka Maharaja Ambarisa menantinya kembali dengan berpuasa makan dan hanya minum air demi menjaga dirinya.

24.  Setahun berlalu sewaktu Durvasa Muni kembali kehadapan sang raja,
dan Maharaja Ambarisa langsung saja menghaturkan penghormatan
dan berbagai santapan yang bersifat suci dan satvik,
kemudian baru menyusul beliau ikut bersantap setelah sang resi memohonnya.
Sewaktu sang raja menyaksikan bagaimana sang resi ini selamat dari bara apinya Sudharsana-Cakra,
beliau langsung saja faham bahwa berkat karunia Yang Maha Esa,
beliau sendiri ternyata juga sakti mandraguna,
beliau juga langsung sadar bahwa semua itu bukan miliknya,
karena pada hakikatnya yang melaksanakan semua hal di dunia ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.

25.  Berdasarkan iman yang tanpa pamrih ini,
juga berdasarkan bakti yang berkesinambungan,
Maharaja Ambarisa yang sebenarnya termasuk digjaya dan sakti-wirawan ini, memuja Paramatma dan Vasudewa (Yang Maha Esa),
dan karenanya selalu sempurna puja-baktinya.
Begitu dalam bakti beliau kepada Yang Maha Esa,
sehingga selalu beranggapan bahwa swarga atau loka yang tertinggi itu sama saja nilainya dengan neraka yang paling rendah statusnya.

26.  Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini.
Selanjutnya dikarenakan tahap bakti
dan kesadarannya yang teramat tinggi, Maharaja Ambarisa, tidak berhasrat lagi terhadap kehidupan duniawinya,
dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya.
Beliau kemudian membagi-bagi kerajaannya kepada para putra-putranya yang konon sebaik dirinya,
dan memasuki tahap vanaprasta.
Beliau mengasingkan dirinya ke tepi sebuah lautan yang shanti demi pemusatan pikirannya ke Vasudewa (Yang Maha Esa).

27.  Barangsiapa mengulang kisah ini kepada para pemuja yang lain-lainnya maka dipastikan ia akan berubah menjadi pemuja sejati Yang Maha Esa.

28.  “Dengan karunia Yang Maha Esa, mereka-mereka yang mendengarkan kisah bhakta agung Maharaja Ambarisa ini dipastikan mendapatkan kebebasan spritual
dan menjadi seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa dalam sekejab.” 

Dengan ini berakhirlah kisah 
Maharaja Ambarisa dan Durvasa muni.

Senin, 24 Juli 2017

Bhagavad Purana bab 2

Petunjuk-petunjuk demi tercapainya
kemanusian yang berbudaya dan beradab 

1.   ”Resi Narada berucap :
Wahai Raja yang kuhormati,
ada sementara Brahmana yang sangat tertambat pada perbuatan-perbuatan yang menghasilkan pahala,
ada Brahmana yang terikat kepada tata-cara dan berbagai tapa-brata,
dan walaupun demikian,
ada juga sebagian kecil yang melestarikan ilmu pengetahuan
dan mengajarkan berbagai bentuk yoga, khususnya bhakti-yoga.” 

2.   ”Seseorang yang menghasratkan pembebasan dirinya
atau bagi leluhurnya
harus memberikan dana-punia kepada seorang Brahmana yang telah menyatu dengan Yang Maha Esa (Jnana-nistha, yaitu yang telah meninggalkan ikatan-ikatan materi duniawinya).
Seandainya Brahmana dengan status yang agung ini tidak dapat ditemukan maka dana-punia ini dapat diberikan kepada seorang Brahmana yang terbius oleh aktifitas-aktifitas yang menghasilkan pahala (karma-kanda).”

3.   ”Pada saat menghaturkan persembahan kepada para dewa-dewi, seseorang harus mengundang 2 orang Brahmana, dan sewaktu menghaturkan persembahan kepada para leluhur (pitra-karya, pitra-yadnya),
maka seseorang boleh mengundang tiga orang Brahmana.
Atau untuk kedua bentuk pelaksanaan ini seorang Brahmana sebenarnya sudah memadai.
Walaupun seseorang itu teramat kaya-raya,
ia sebaiknya tidak memaksakan diri untuk mengundang lebih banyak Brahmana ataupun menghambur-hamburkan biaya yang besar demi terselenggarakannya upacara-upacara tersebut.”

 

4.   ”Seandainya,
seseorang ingin menghaturkan persembahan dalam jumlah yang besar kepada para Brahmana atau keluarganya di saat mengadakan upacara sradha, maka akan timbul berbagai kemubaziran yang berhubungan dengan waktu,
tempat,
kehormatan dan bahan-bahan untuk santapan,
dan juga tata-cara penghaturkan upacara.”

5.    ”Seandainya seseorang mendapatkan sebuah kesempatan dan lokasi yang sangat tepat (untuk sebuah upacara), maka ia harus, penuh dengan cinta-kasih, menghaturkan sesajen yang dipersiapkan dengan mentega murni (ghee) kepada Yang Maha Esa
dan lalu kepada seseorang yang seharusnya menerima yaitu seorang vaisnawa (pengikut Kresna atau Maha Vishnu dan semua reinkarnasiNya),
atau kepada seorang Brahmana.
Hal ini akan menghasilkan suatu kehormatan yang bersifat abadi.”

6.       ”Pemuja tersebut harus menghaturkan sesajen kepada dewa-dewi,
kepada para kaum suci,
para leluhur,
orang-orang pada umumnya,
kerabat,
keluarga dan teman-teman beserta para relasi,
dan menganggap mereka semua ini sebagai pemuja Tuhan Yang Maha Esa.” 

7.       ”Seseorang yang sadar secara total akan prinsip-prinsip keagamaan seharusnya tidak menghaturkan sesajen dalam bentuk daging hewan,
telur ataupun ikan,
sewaktu melaksanakan upacara shradha. Sewaktu suatu jenis makanan disajikan dengan tambahan ghee (mentega murni) kepada para kaum suci,
maka pelaksanaan ini akan menyenangkan hati para leluhur dan Yang Maha Esa,
mereka ini tidak pernah senang sewaktu hewan-hewan dibantai demi mengatas-namakan sesuatu upacara.” 

8.    ”Seseorang yang berhasrat untuk maju dalam penitian jalan spritualnya yang lebih tinggi dianjurkan untuk melepaskan segala ikatan (duniawi)nya dengan berbagai mahluk-mahluk hidup lainnya,
baik itu secara ragawi,
dengan menggunakan kata-kata atau pikiran.
Tidak ada sesuaru (ajaran) agama yang lebih tinggi dari hal ini.” 

9.   ”Akibat dari bangkitnya pengetahuan spritual,
maka mereka yang cerdas intelegensinya dalam bidang pengorbanan (yadnya),
yang sebenarnya sadar akan hakikat sesungguhnya dari prinsip-prinsip keagamaan dan lepas dari hasrat-hasrat duniawi,
akan mengendalikan diri mereka melalui api spritual ilmu pengetahuan,
atau melalui ilmu pengetahuan akan kebenaran Yang Maha Hakiki.
Orang-orang ini akan meninggalkan proses upacara-upacara yang sarat dengan ritual.” 

10. ”Menyaksikan para pelaksana upacara pembantaian hewan,
maka para hewan-hewan yang akan dipersembahkan menjadi amat ketakutan dan berpikir : “Orang-orang kejam ini,
yang tidak sadar akan hakikat dan tujuan pengorbanan (yadnya)
dan merasa puas dengan membunuh sesama mahluk,
akan pasti membunuh kami.” 

11. ”Oleh karena itu,
hari demi hari,
seseorang yang sebenarnya sadar akan prinsip-prinsip agama dan tidak bersikap zalim terhadap hewan-hewan yang merana ini,
seharusnya setiap harinya melaksanakan yadnya dengan penuh suka-cita,
dan begitu juga untuk berbagai kesempatan-kesempatan lainnya dengan sesajen apa adanya yang tersedia secara mudah berkat karunia Yang Maha Esa. 

12. ”Ada lima cabang non-religius yang dikenal dengan sebutan Vidharma (non-religius),
prinsip agama bagi seorang yang tidak pantas (para-dharma),
beragama secara pura-pura (abhasa), agama yang bersifat anologikal (upadharma)
dan agama yang menipu (chala-dharma).
Seseorang yang sadar akan hakikat kehidupan agama yang benar harus menjauhi kelima faktor non-religius ini.”

13. ”Prinsip agama yang menghalangi seseorang dari jalan agamanya sendiri disebut Vidharma.
Prinsip-prinsip agama yang diperkenalkan (diajarkan) oleh orang-orang lainnya disebut para-dharma.
Agama baru yang diciptakan seseorang yang munafik dan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Veda disebut Upadharma.
Dan mengartikan prinsip-prinsip agama secara berolok-olok disebut Chala-dharma.”

14. ”Sebuah cara pengajaran agama yang dibuat-buat,
yang dirancang oleh seseorang yang secara sengaja mengabaikan kewajiban-kewajiban (setiap indvidu sesuai dengan varnanya) disebut abhasa (persamaan yang palsu / imitasi).
Tetapi seandainya seseorang menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan sistim varna dan asramanya,
mengapa mereka tidak mampu untuk mengatasi (menghancurkan) berbagai kedukaan material mereka ?

 

15. ”Walaupun seandainya seseorang itu miskin harta,
ia tidak seharusnya mati-matian memperbaiki kehidupan ekonominya demi pemuasan jiwa dan raganya
atau demi menjadi seorang penyandang agama yang terkenal.
Ibarat seekor ular sanca,
walaupun tinggal si suatu tempat,
dan tidak berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,
toh sang makanan datang sendiri
dan mencukupi kebutuhan jiwa dan raga ular tersebut.
Demikian juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi mendapatkan kebutuhan tanpa bersusah payah.”

16. “Seseorang yang merasa cukup
dan puas (dengan apa yang didapatkannya sehari-hari)
dan yang menghubungkan (menyerahkan) setiap pelaksanaannya aktifitasnya sehari-hari kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam setiap manusia,
akan menikmati kebahagiaan transendental tanpa berusaha mati-matian demi kehidupannya.
Bagi seseorang yang bergerak kesana kemari dengan tujuan materi yang berlandaskan nafsu dan keserakahan, yang hanya beraktifitas demi menumpuk kekayaan belaka tidak akan tersedia kebahagiaan ini.” 

17. "Bagi seseorang yang mengenakan sepatu yang sesuai dengan ukuran kakinya,
tidak akan ada bahaya walaupun ia berjalan diatas kerikil ataupun di atas duri-duri (yang tajam).
Baginya semua itu wajar-wajar saja. Demikian dengan seseorang yang selalu merasa puas,
baginya tidak hadir penderitaan,
sebenar-benarnya ia merasakan kebahagiaan di dalam situasi apapun ia berada.” 

18. ”Wahai Raja yang kuhormati,
seorang yang puas dengan dirinya sendiri mampu merasakan kebahagiaan walaupun hanya dengan minum seteguk air.
Tetapi bagi yang dihela oleh berbagai indra-indranya,
khususnya oleh lidah dan alat kelaminnya,
harus menerima statusnya (ibarat) seekor anjing penjaga rumah yang hidup dengan memuaskan indra-indranya.” 

19. ”Diakibatkan oleh keserahkahannya demi mengikuti hasrat-hasrat sensualnya (indra-indranya) maka kekuatan spritual, ilmu pengetahuan,
tapa-brata dan reputasi dari pemuja atau Brahmana yang tidak puas akan dirinya ini lambat-laun akan menghilang.” 

20. ”Seseorang yang raganya lapar dan dahaga dan menghasratkan kebutuhan badannya ini akan merasa terpuaskan setelah ia selesai menyantap sesuatu. Demikian juga seandainya seseorang merasa marah,
kemarahan tersebut akan terpuaskan karena pelampiasan dan reaksi-reaksinya.
Tetapi walaupun seseorang itu telah menguasai keempat penjuru dunia atau telah menikmati semua kenikmatan di dunia,
tetap saja keserakahan itu tidak terpuaskan.” 

21. ”Wahai Raja Yudhistira,
banyak manusia dengan berbagai ragam pengalaman,
dan banyak cendekiawan dan banyak manusia yang menjadi pemimpin berbagai dewan jatuh ke dalam kehidupan neraka akibat tidak pernah puas dan sentosa dengan posisi (status yang telah mereka capai,
hal ini disebut asantosat).”

22. ”Berlandaskan tekad seseorang merencanakan sesuatu;
seseorang harus menanggalkan hasrat-hasrat yang penuh nafsu demi pemuasan indra-indra sensualnya.
Dengan jalan yang sama,
sambil menanggalkan ke iri-hatian seseorang harus menguasai rasa amarahnya,
dengan menimbang akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kekayaan yang menumpuk maka seseorang harus menanggalkan keserakahannya,
dan dengan membahas akan kebenaran seseorang harus menanggalkan rasa takut dan khwatirnya.” 

23. ”Dengan mempelajari (berdiskusi dengan sesamanya) ilmu pengetahuan seseorang akan mampu menguasai rasa kesedihan dan ilusi;
dengan berbakti kepada seseorang pemuja agung seseorang bisa berubah menjadi rendah hati,
dengan berdiam diri seseorang akan mampu menjauhi halangan di jalan yoga nan penuh dengan mistik,
dan dengan menghentikan pemuasan indra-indranya seseorang akan mampu menguasai rasa dengki dan (amarahnya).” 

24. ”Dengan berperi-laku yang baik
dan lepas dari rasa dengki seseorang harus melawan penderitaan yang terjadi (karena) interaksi dengan mahluk-mahluk hidup lainnya,
dengan bermeditasi kepada Yang Maha Esa (samadhina) seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh semua pemberian Yang Maha Esa ini (jahyat),
dan dengan melaksanakan hatha-yoga, pranayama dan lain sebagainya seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh raga dan pikiran ini. Dengan jalan yang sama seharusnya seseorang mengembangkan peri-laku yang baik,
Khususnya cara bersantap,
dan dengan demikian mengalahkan tidur (rasa malas).”

25. ”Seseorang wajib menguasai sifat-sifat penuh nafsu dan kebodohan
dengan mengembangkan sifat-sifat kebajikan ini
dan menanjak ke tahap suddha-satva. Semua ini bisa dilakukannya secara alami seandainya ia berbakti penuh iman dan dedikasi kepada guru spritualnya.
Dengan jalan ini ia dapat secara mudah menguasai pengaruh berbagai sifat-sifat alam.” 

26. ”Seseorang guru spritual secara langsung harus dianggap sebagai (pengganti / medium dari) Yang Maha Esa karena beliau menganugerahkan ilmu pengetahuan ibarat sinar (di dalam kegelapan).
Oleh karena itu,
seandainya seseorang berpikir secara duniawi bahwa seorang guru spritual adalah manusia biasa,
maka seluruh (pelaksana spritualnya) akan kacau-balau.
Semua pelajaran ilmu pengetahuan Veda dan penerangan spritual yang didapatkannya diibaratkan seperti seekor gajah yang sedang mandi.”

27. ”Tuhan Yang Maha Kuasa (Bhagwan) adalah Penguasa seluruh mahluk-mahluk hidup dan alam materi ini.
Telapak kaki PadmaNya dicari-cari dan dipuja-puja oleh berbagai resi agung seperti Vyasa.
Walaupun demikian,
banyak orang-orang yang bodoh yang menganggap Sang Yogeswara ini sebagai manusia biasa.”

 

 

28.  ”Upacara-upacara ritual,
prinsip-prinsip agama yang baku tapa-brata,
dan berbagai upaya yoga,
kesemuanya ini adalah cara-cara untuk mengendalikan pikiran dan indra-indranya,
seandainya ia tidak bermeditasi (Dhyana) ke Yang Maha Esa,
maka semua pelaksanaan (agama, spritual dan sebagainya) tersebut sama dengan bekerja secara sia-sia dalam kegalauan.”
 

29.  ”Ibarat berbagai aktivitas yang dilandasi kewajiban dan ekonomi yang berpahala
yang tidak dapat membantu seseorang dalam meniti jalan spritualnya,
tetapi sebaliknya malahan menimbulkan keterikatan materi,
maka upacara-upacara berdasarkan ritual-ritual Veda tidak akan mampu menolong seseorang yang bukan pemuja Tuhan Yang Maha Esa.”

30. ”Seseorang yang berhasrat untuk menguasai pikirannya harus meninggalkan keluarganya
dan tinggal di sekitar tempat yang tenang, bebas dari lingkungan manusia yang sudah terkontaminasi.
Demi pemeliharaan tubuh dan jiwanya,
ia harus meminta-minta cukup demi kebutuhan hidupnya saja,”

31. ”Wahai Raja yang kuhormati, seseorang harus pergi sendiri,
bertirta-yatra ke tempat-tempat yang suci dan sakral dan mencari sebuah lokasi untuk melaksanakan yoganya.
Sebaiknya tempat ia beryoga-meditasi bersifat stabil,
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Di sana ia harus duduk secara nyaman, tegak dan stabil dan memulai mengidungkan (beberapa mantra) pranawa-pranawa Veda.”

  

32/33.”Dengan memfokuskan kedua mata ke ujung hidung,
seseorang yogi yang terpelajar melatih nafasnya dengan cara-cara yang disebut puraka (menarik nafas)........ mengendalikan penarikan
dan pengeluaran nafas
dan lalu menghentikan kedua-duanya. Dengan cara ini sang yogi menjauhkan pikirannya dari ikatan-ikatan materi
dan memasrahkan semua hasrat-hasrat yang ada di jalan pikirannya.
Begitu sang pikiran dapat dikalahkan oleh berbagai hasrat dan nafsu,
dan mulai terdorong untuk merasakan pemuasan indra-indranya,
sang yogi ini harus ssegera mengembalikan fokus semedinya
dan menahannya di dalam lubuk hatinya.”

34. ”Sewaktu sang yogi secara teratur melatih dirinya dengan upaya ini,
maka dalam waktu yang singkat hatinya akan tentram dan lepas jauh dari berbagai gangguan,
ibarat api tanpa kobaran
dan tanpa asap.”

35. ”Sewaktu kesadaran seseorang tidak tercemar oleh berbagai hasrat dan nafsu, maka kesadaran tersebut akan berubah tenang dan damai dalam berbagai tindakan dan pelaksanaannya,
karena seseorang ini telah menyatu di dalam kehidupan yang penuh dengan karunia Ilahi (Yang Maha Esa).
Begitu memasuki tahap ini ia tidak akan kembali ke berbagai aktifitas yang bersifat materi duniawi.”

36. ”Seseorang yang menerima kehidupan sanyasa menjauhi tiga prinsip yang berhubungan dengan berbagai aktifitas dan pelaksanaan yang bersifat duniawi yang biasanya dilakukan sehari-harinya dalam kehidupan grhasta,
seperti bekerja, berusaha, beragama, bermasyarakat dan lain sebagainya, bahkan ia menjauhi pemuasan sensualnya.
Seorang yang telah mengambil jalan sanyasa tetapi kemudian kembali ke berbagai aktifitas duniawinya disebut vantasi,
yaitu seseorang yang memakan muntahannya sendiri.
Orang ini tidak memiliki rasa malu sama sekali.”

37. ”Para sanyasi yang pada mulanya berkata bahwa raga ini suatu hari pasti akan binasa dan berubah menjadi kotoran,
ulat dan abu (tanah) tetapi kemudian mementingkan dan mengangungkan tubuh mereka seakan-akan mengagungkan Sang Atman (di dalam diri mereka) harus disebut sebagai bajingan keparat yang besar.”

38/39.  ”Adalah menjijikkan bagi seorang yang hidup dalam grhsta-asrama
untuk mengabaikan prinsip-prinsip pelaksanaan sehari-harinya
dan begitu juga bagi seorang Brahmachari yang mengingkari sumpahnya
dan mengabaikan ajaran-ajaran gurunya, dan bagi seorang yang mengambil jalan vanaprastha untuk tinggal di desa dan melakukan berbagai aktifitas spritual dan sosial,
atau bagi seorang sanyasi yang terbius dengan pemuasan hasrat-hasrat nafsunya.
Seseorang yang bertindak semacam ini disebut pengkhianat yang terendah. Seorang yang palsu ini kacau-balau jalan pikirannya akibat kekuatan eksternal dari Yang Maha Esa,
jadi seharusnya orang ini ditolak dan disingkirkan dari posisinya,
ajari ia agar kembali ke jalannya yang semula dengan penuh kasih sayang, seandainya hal tersebut memungkinkan.”

  

40.  ”Raga manusia ini diperuntukkan demi menghayati akan hadirnya secara transendental (gaib,mistis) Sang Jiwa dan Sang Atman (Yang Maha Esa). Seandainya seseorang dapat memahami kehadiran Mereka sewaktu ia dibersihkan oleh ilmu pengetahuan yang tinggi kadarnya,
lalu untuk apa lagi seseorang yang bodoh harus merawat dan menjaga tubuhnya demi pemuasan nafsu-nafsunya belaka?"

41. ”Mereka-mereka yang membaur ke jalan Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah tinggi pemahaman ilmu pengetahuannya,
menganggap raga ini,
yang dirancang sesuai sabda Yang Maha Kuasa,
ibarat sebuah kereta berkuda.
Indra-indra ragawi diibaratkan sebagai kuda-kuda;
sang pikiran diibaratkan pemimpin dari berbagai indra-indra ini dan adalah tali kekangnya;
berbagai objek-objek indra diibaratkan sebagai berbagai tujuan;
intelegensia seseorang adalah diibaratkan sebagai sang kusir;
dan kesadaran yang membayar ke seluruh penjuru raga ini, adalah penyebab keterikatan di dalam dunia yang bersifat materi ini.”

42. ”Kesepuluh jenis udara yang mengalir di dalam tubuh diibaratkan sebagai as dari roda-roda kereta kuda ini;
bagian atas dan bawah roda disebut dharma dan adharma.
Sang Jiwa di dalam tubuh yang bersifat duniawi ini adalah sang pemilik kereta ini. Mantra Veda (Omkara pathanti) adalah ibarat busur
dan sang jiwa adalah anak panahnya, sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa.”

43/44.  ”Di dalam kehidupannya di dunia ini,
sang jiwa yang terbungkus oleh raga duniawi ini sering mengalami pencemaran oleh nafsu dan kebodohan (avidya, kekurang-pengetahuan) yang terpancar keluar sewaktu seseorang itu menunjukkan sifat-sifat keterikatan,
tidak ramah tamah,
serakah,
duka,
melarikan diri dari kenyataan hidup ini, cemburu,
tidak toleran dengan sesamanya,
terjerat dengan atau oleh berbagai nafsu dan hasrat,
kegalauan,
rasa lapar (pada hal sudah cukup makan dan minumnya),
malas dan lebih menyukai tidur.
Semua sifat dan unsur-unsur ini adalah musuh bagi manusia.
Adakalanya seseorang juga tercemar oleh sifat-sifat kebajikan itu sendiri.”

45.    ”Selama seseorang harus menerima raga manusiawi ini,
dengan berbagai organ-organ tubuh
dan berbagai sifat dan cara kerjanya, yang tidak selamanya (seluruhnya) dapat dikendalikannya,
maka seseorang harus mencari seorang guru atau guru dari para orang-orang suci. Dengan pertolongan mereka,
seseorang dapat menajamkan pedang (menambah) ilmu pengetahuannya,
dan dengan kekuatan yang didapatkannya dari Yang Maha esa,
maka ia akan mengalahkan musuh-musuh (halangan) yang disebut di atas. Dengan cara ini,
sang pemuja akan mampu menyatu dengan Karunia (transendental) Yang Maha Esa yang hadir di dalam dirinya sendiri,
dan lambat laun pemuja ini akan “mengabaikan” raganya
dan lebih terkonsentrasi kepada identitas spritualnya".

46. Seandainya seorang tidak mengikuti instruksi para guru spritual sejati (di sini disebutkan sebagai Acyuta dan Baladewa = wakil-wakil Sang Krishna),
maka berbagai indra tubuh akan berpari-laku ibarat kuda-kuda (yang liar),
dan intelegensia (budhi) yang diibaratkan sebagai seorang kusir,
semuanya ini akan cenderung terkontaminasi oleh unsur-unsur materi, dan mengarahkan seseorang ke pemuasan indra-indranya.
Sewaktu seseorang tertarik kembali ke berbagai visaya ini,
seperti bersantap,
tidur dan hubungan seksual maka para “kuda liar dan sang kusir” akan terjerumus ke jalan kegelapan dunia ini, dan sekali lagi masuk ke alur kelahiran dan kematian yang berulang-ulang tanpa ujung,
dan situasi ini sangatlah berbahaya dan menakutkan secara spritual.”

47.  ”Menurut berbagai Veda,
terdapat 2 jenis pelaksanaan yaitu yang disebut pravrtti dan nivrtti.
Pelaksanaan yang pertama mengangkat seseorang dari tingkat materi duniawi yang rendah ke tingkat kehidupan materi duniawi yang lebih tinggi,
sedangkan pelaksanaan yang adalah pelepasan keterikatan dari berbagai nafsu dan hasrat-hasrat akan hal-hal yang bersifat duniawi.
Melalui pravrtti seseorang akan menderita karena terikat oleh materi duniawi ini,
dan melalui nivrtti seseorang akan disucikan
dan layak menikmati kehidupan yang abadi dan penuh KaruniaNya.”

  

48/49.  ”Berbagai ritual,
upacara dan pengorbanan seperti agni-hotra-yajna, darsa-yajna, purnamasa-yajna, caturmasya-yajna, pasu-yajna dan soma-yajna
ditandai dengan pembantaian hewan
dan pembakaran berbagai benda-benda yang berharga,
khususnya makanan yang berbentuk gandum-ganduman.
Semua ini demi terpenuhinya hasrat dan nazar-nazar yang bersifat materi duniawi. Melaksanakan berbagai pengorbanan tersebut dan memuja Vaisvadeva (Yang Maha Esa),
melaksanakan upacara Baliharana, yang diperuntukkan demi pencapaian tujuan kehidupan,
begitu juga membangun berbagai tempat persembahyangan (Sura-alaya) untuk para dewa-dewi,
membuat sumur-sumur untuk membagi-bagi air,
membangun gudang-gudang makanan untuk membagi-bagi makanan (bagi yang membutuhkan),
dan melaksanakan berbagai aktifitas demi kesejahteraan umum,
kesemuanya ini ditandai oleh ikatan-ikatan bersifat penuh pamrih dan hasrat-hasrat materi duniawi.”

50/51.  ”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati,
sewaktu berbagai persembahan yang terdiri dari ghee (mentega murni)
dan bahan makanan seperti berjenis-jenis gandum-ganduman dan wijen dipersembahkan sebagai pengorbanan, maka kesemuanya ini lalu berubah ujud menjadi asap
dan membawa sang pelaksana upacara ini ke berbagai sistem tata surya (loka-loka yang ada di antariksa) seperti loka-loka Sang Dhima, Ratri, Kresnapaksa, Daksinam dan rembulan (somah).
Lalu, para pelaksana pengorbanan ini turun lagi ke bumi dan berubah ujud menjadi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti rempah-rempah dan sebagainya, menjadi serangga, gandum-ganduman dan tanaman-tanaman lainnya.
Semua ini lalu disantap oleh berbagai mahluk hidup dan berubah ujud menjadi spermatozoa yang kemudian disalurkan ke berbagai raga yang berujud feminin. Dengan begitu seorang lahir dan lahir kembali.” 

52. ”Seorang Brahmana yang dwijati (lahir kedua kali)mendapatkan (hutang nyawa)kehidupannya karena karunia kedua orang tuanya melalui proses yang dikenal sebagai suatu penyucian yang disebut garbhadana.
Juga kemudiaan diikuti oleh berbagai proses penyucian sampai dengan akhir hayatnya,
yaitu yang disebut upacara pelaksanaan pembakaran jenazahnya (antyesti-kriya). Di dalam kurun waktu tersebut seorang Brahmana yang berkwalitas murni (dwija) tidak tertarik lagi dengan berbagai aktifitas dan pengorbanan secara duniawi ini,
dengan eling (Jnana-dipesu),
penuh kesadaran sejati,
ia mengorbankan kenikmatan indra-indranya ke dalam aktifitas indra-indranya yang telah disinari (diterangi) oleh sinar pengetahuan.”

53. ”Perilaku sang pikiran selalu terombang-ambing oleh ombak penerimaan dan penolakan akan sesuatu hal.
Oleh karena itu semua pelaksanaan berbagai indra-indra ini harus dipersembahkan (dengan kesadaran tentunya) kepada sang pikiran,
yang kemudian disalurkan ke dalam wacana (kata-kata) seseorang.
Lalu kata-kata seseorang tersebut harus dipersembahkan ke bentuk intisari Omkara (pertama wacana orang tersebut dipersembahkan kedalam bentuk alfabet kemudian ke bentuk Omkara).
Omkara kemudian dipusatkan dan dipersembahkan ke titik bindu (di tengah-tengah alis mata),
dari bindu disalurkan melalui getaran ke suara, (nada), dan selanjutnya ke udara kehidupan (prana).
Kemudian yang tersisa adalah jiwa-raga seseorang yang harus dipersembahkan kepada Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Kuasa),
hal ini disebut sebagai proses pengorbanan.”

54. ”Dalam tahap pendakiannya,
seorang insan yang progresif (maju terus) memasuki berbagai loka yang terdiri dari loka api (agni), loka surya, loka hari (diva), loka akhir hari (prahnah), loka suklah (14 hari rembulan yang terang), loka raka (purnama yang jatuh pada akhir sukla-paksa), dan uttaram (saat mentari bergerak ke arah utara),
bersama-sama masing-masing para dewanya.
Sewaktu insan ini memasuki Brahmaloka, ia menikmati kehidupan di sana selama berjuta-juta tahun,
dan akhirnya akan habis juga berbagai tujuan materinya.
Ia kemudian menuju ke arah yang lembut, dan dari titik tersebut ia mencapai tujuan kasualnya,
di mana ia dapat menyaksikan berbagai tahap-tahap yang telah dilaluinya. Sewaktu ia meninggalkan tahap kasualnya ini,
ia akan mencapai tahap yang murni di tahap ini ia mengenali Sang Jati Diri (Atman).
Dengan cara ini ia berubah menjadi transendental (menyatu denganNya).”

55. ”Proses bertahap dalam pendakian (spritual) demi mencapai kesadaran akan Sang Jati Dirinya sendiri dimaksudkan bagi mereka-mereka yang benar-benar sadar akan Kebenaran Yang Hakiki. Setelah menjalani berbagai kelahiran di jalan ini,
yang dikenal sebagai deva-yana, seseorang akan mencapai berbagai tahap-tahap spritual ini.
Seseorang yang secara total lepas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi,
karena telah menyatu denganNya,
tidak perlu lagi menjalani berbagai kelahiran dan kematian.”

56. ”Walaupun seseorang hidup dengan menyandang raga, (tetapi) sadar    secara total akan jalan-jalan yang disebut sebagai pitra-yana dan dewa-yana, dan membuka matanya sesuai dengan ilmu pengetahuan Veda, insan ini tidak akan pernah galau di dunia yang serba meterialistik ini.”

57. ”Beliau yang hadir secara internal dan eksternal,
yang hadir pada permulaan dan akhir dari setiap unsur dan eksis di setiap mahluk hidup,
yang dinikmati dan yang menikmati semuanya,
Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Tak Berkuasa,
disebut sebagai Kebenaran Yang Maha Hakiki.
Beliau selalu hadir sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan,
sebagai ekspresi dan tujuan dari pengertian,
sebagai kegelapan dan sebagai penerangan.
Oleh sebab itu, Yang Maha Kuasa adalah segala-galanya.”

58. ”Walaupun seseorang boleh mengatakan bahwa pantulan sinar surya dari sebuah cermin bukanlah surya, sebenarnya sang surya tetap saja eksis. Demikian juga caranya seandainya ingin membuktikan Keberadaan Tuhan Yang Hakiki melalui ilmu pengetahuan yang menduga-duga itu pastilah sangat sukar untuk dibuktikan.”

59. ”Di dunia ini terdapat lima unsur (maha-panca-butha),
masing-masing adalah bumi, air, api, udara dan ether,
tetapi raga kita bukanlah refleksi dari kelima unsur ini,
juga bukan sebuah bentuk perpaduan ataupun transformasi dari kelima-limanya ini.
Karena raga ini dan seluruh anggota-anggota badannya ini tidak saling berjauhan maupun bercampuran,
semua teori-teori yang mengatakan seperti ini dan atau seperti itu,
tidak berdasar sama sekali.”

60. ”Karena raga ini terdiri dari lima unsur tersebut,
maka raga ini tidak bisa hidup tanpa tujuan-tujuan dari berbagai objek-objek sensualnya yang halus (suara, rasa, sentuhan, intuisi, penciuman, dan sebagainya).
Oleh karena raga ini palsu (ilusif),
maka tujuan-tujuan sensualpun secara alami bersifat palsu
dan tidak abadi.”

61. ”Sewaktu sesuatu unsur dan berbagai bagian-bagiannya dipisah-pisahkan, maka penerimaan konsep kesamaan dari berbagai pisahan ini disebut sebagai ilusi. Sewaktu seseorang bermimpi,
maka ia menciptakan sebuah pemisahan antara eksistensi yang disebut kesadaran (tahap tidak tidur) dan tahap tidur.
Pada tahap pikiran semacam itulah, berbagai prinsip-prinsip yang beraturan yang terdapat di berbagai kitab-kitab suci, yang memuat berbagai perintah dan larangan,
dianjurkan (kepada umat).”

62. ”Setelah mempertimbangkan suatu kesatuan dari berbagai aktifitas
dan suatu kesatuan dari berbagai fenomena di alam semesta ini,
dan setelah menyadari setiap pelaksanaan maupun reaksi-reaksinya, maka seseorang (muni, orang yang suci), sesuai dengan kadarnya (kadar kesadarannya),
menanggalkan ketiga tahap yaitu : tahap kesadaran,
tahap mimpi
dan tahap tidur.”

63. ”Sewaktu seseorang memahami bahwa sebab dan akibat sebenarnya adalah satu dan dualitas tidak nyata, ibarat benang-benang yang ditenun di sehelai kain tidak bisa disebut kain,
maka insan ini mencapai suatu konsep kesatuan (spritual) yang disebut Bhavadvaita (konsep akan kesatuan).”

  

64. ”Wahai Yudhistira (partha) yang kusayangi,
sewaktu semua bentuk pelaksanaan berbagai aktifitas seseorang yang terpancar keluar dari pikiran,
kata-kata dan raga seseorang dipersembahkan secara langsung demi pengorbanannya kepada Yang Maha Kuasa,
maka insan ini mencapai tahap kesatuan pelaksanaan,
yang disebut Kriyadvaita.”

65. ”Sewaktu tujuan hidup yang hakiki dan kepentingan dari seseorang,
dari istrinya,
dari putra-putrinya,
dari kalangan keluarganya
dan dari semua mahluk-mahluk hidup itu bersifat satu,
maka hal ini disebut Dravyadvaita,
atau kesatuan kepentingan.”

66. ”Dalam keadaan normal,
di mana mara bahaya tidak hadir, wahai Raja Yudhistira,
seseorang harus melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan status sosial yang disandangnya,
dengan menggunakan benda-benda, upaya-upaya,
proses dan tempat kediaman yang tidak terlarang baginya,
dan tidak dengan melalui cara-cara yang lain.”

67. ”Wahai Raja,
setiap insan harus melakukan kewajibannya sesuai dengan instruksi-instruksi ini,
juga sesuai dengan instruksi yang ada di berbagai Veda,
agar pantas menjadi pemuja Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, walaupun seseorang tinggal di rumah,
ia akan pasti mencapai tujuannya.”

68. ”Wahai Raja Yudhistira,
karena baktimu kepada Tuhan Yang Maha Esa,
maka seluruh Pandawa berhasil mengalahkan berbagai raja-raja dan dewa-dewa.
Dengan berbakti kepada kaki padmaNya Sang Krishna dikau berhasil mengalahkan musuh-musuhmu yang dashyat,
ibarat kawanan gajah dan selanjutnya dikau mengumpulkan berbagai keperluan untuk pengorbananmu.
Dengan KaruniaNya,
semoga dikau dilepaskan dari ikatan-ikatan materi duniawi ini.”

69. ”Pada suatu kurun waktu yang teramat silam, di bagian lain maha-kalpa (milleniumnya Sang Dewa Brahma) aku hadir sebagai seorang Ghandharva (penyanyi di sorgaloka) yang dikenal dengan nama Upabharhana, aku sangat dihormati oleh para ghandharvas yang lainnya.”

  

70. ”Aku memiliki wajah yang tampan dan bentuk tubuh yang menawan. Berhiaskan untaian-untaian bunga dan pupur (serbuk bedak yang dicampur air / susu) cendana, aku sangat menawan bagi wanita-wanita di lokaku. Karenanya aku selalu bersifat liar, penuh dengan berbagai hasrat nafsu-nafsuku.”

  

71. ”Pada suatu saat diselenggarakan upacara Sankirtana (puja-puji) untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa, dan para Ghandharva dan apsara (para penyanyi / penari wanita di sorgaloka) diundang oleh Prajapati untuk ikut serta.”

  

72. ”Resi Narada meneruskan :
Akupun diundang di upacara ini,
dan karena selalu dikerumuni wanita-wanita,
aku mulai melantunkan kidung puja-puji bagi para dewata.
Dan akibatnya para Prajapati yang menjalankan berbagai kegiatan di alam semesta terpaksa mengutukku dengan kata-kata seperti ini :
“Karena dikau telah melanggar peraturan, maka dikau dikutuk untuk langsung menjadi seorang sudra,
dan jauh dari ketampanan.”

73. Walaupun aku dilahirkan sebagai seorang sudra dari rahim ibuku yang berstatus seorang pembantu rumah tangga,
aku selalu terlibat dengan pemujaan kepada Sang Hyang Vishnu,
dan dalam kehidupan ini aku mendapatkan kesempatan dilahirkan sebagai (salah seorang) putra Dewa Brahma.”

74. ”Proses memuja nama suci Tuhan Yang Maha Esa sangatlah dashyat hasilnya,
bahkan proses ini dapat membuat para grhastas (kepala rumah tangga) dengan mudah mencapai tahapnya para orang-orang suci.
Wahai Maharaja Yudhistira,
dengan ini aku sudah menerangkan kepadamu proses dari ajaran dharma ini.”

  

75. ”Wahai Maharaja Yudhistira yang kuhormati,
para Pandawa kesemuanya adalah insan-insan yang teramat beruntung di dunia ini karena selalu dikelilingi oleh berbagai kaum suci,
yang mampu membersihkan seisi alam semesta,
dan para orang suci ini berkunjung ke kediamanmu seperti layaknya tamu-tamu biasa saja.
Lebih dari itu, Sri Kresna (Krishna),
Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri, berastana bersama-sama dikau semuanya di kediamanmu, ibarat seorang saudara.”

  

76. ”Alangkah menakjubkan bahwa Sri Krishna Sang Para Brahman,
Yang Maha Kuasa yang transendental ini, malahan bertindak sebagai penjagamu, sebagai teman dan sepupumu,
sebagai jiwa dan kalbu,
sebagai pengarah spritual (puja-pujimu) dan sebagai guru spritualmu.”

  

77. ”Hadir di sini Tuhan Yang Maha Esa yang wujud aslinya tidak bisa difahami bahkan oleh para dewa seperti dewa Brahma dan Dewa Shiva.
Tetapi Beliau bisa disadari oleh para pemujaNya yang telah pasrah secara total.
Semoga Beliau,
yang merupakan pemelihara seluruh pemuja-pemujaNya,
Yang dipuja secara hening,
dengan bakti yang penuh dedikasi dan pemasrahan total dan lepas dari berbagai pamrih,
sudi melindungi kita semua.”

 

78. ”Bersabdalah Sri Sukadewa Goswami kepada Raja Parikesit yang sedang mendengarkan kisah antara Resi Narada dan Raja Yudhistira ini.
Maharaja Yudhistira yang terbaik dari dinasti Barata,
langsung saja faham akan ajaran-ajaran Resi Narada.
Setelah mendengarkan ajaran-ajaran ini, beliau dengan segala suka-cita di dalam kalbunya dan penuh dengan kenikmatan Ilahi,
dan penuh dengan prema (cinta kasih Ilahi) dan kasih sayang (terhadap sesama mahluk) dan rasa hormat,
memuja Sri Krishna, Yang Maha Esa.”

 

 

79. ”Kemudian Resi Narada,
yang dihormati dan dipuja-puji oleh Sri Krishna dan Maharaja Yudhistira mengucapkan salam perpisahan dan kembali kediaman beliau.
Maharaja Yudhistira yang baru sadar bahwa sepupunya Sri Krishna adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri,
menjadi takjub dan bahagia di dalam kesadarannya ini.” 

80.    Resi Goswami kemudian bersabda kepada Raja Parikesit :

“Di berbagai loka-loka di alam semesta ini berbagai unsur-unsur kehidupan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
termasuk para dewa-dewi, asuras, dan manusia, kesemuanya ini lahir dari putra-putri Maharaja Daksa,
dan telah kuterangkan kesemuanya ini dengan berbagai dinasti-dinastinya kepadamu.”

  

Dengan demikian berakhirlah ajaran dharma yang disebut,
“petunjuk-petunjuk demi tercapainya kemanusian yang berbudaya dan beradab.”

 

Selasa, 18 Juli 2017

Bhagavad Purana bab 1

 BAB 1

1.      
”Maharaja Yudhistira memohon kepada Resi Narada,
“Wahai Resi nan agung,
Wahai Prabhu,
sudikah menjelaskan bagaimana caranya agar kami yang menjalankan kehidupan rumah tangga ini,
yang tidak menyadari akan hakikat tujuan kehidupan ini,
dapat mencapai kebebasan,
selaras dengan sabda-sabda yang ada di berbagai Veda-Veda.”

2.      Resi Narada bersabda  :

“Wahai raja yang kukasihi,
mereka-mereka yang menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga haruslah bekerja demi kehidupan mereka,
dan sebaiknya dari pada menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka,
seharusnya mereka-mereka ini mempersembahkan hasil pekerjaan mereka kepada Kresna Vasudewa.
Dan untuk memuaskan Vasudewa (Tuhan Yang Maha Esa)
ini dapat dipelajari berbagai jalan yang sempurna melalui pendekatan dengan para bakta-bakta agung pemuja Yang Maha Kuasa ini.”

3/4. Resi Narada melanjutkan  :

“Seorang grhasta harus selalu berasosiasi lagi dan lagi dengan para kaum yang suci
dan dengan penuh rasa hormat ia harus mendengarkan sari dari segala aktifitas Yang Maha Agung dan berbagai ReinkarnasiNya sesuai dengan yang telah dijabarkan di Srimad Bhagavatam dan di berbagai Puranas.
Selanjutnya secara bertahap ia melepaskan keterikatannya dengan istri dan putra-putrinya
ibarat seseorang yang terbangun (sadar) dari mimpinya.”

5. Resi Narada bersabda  :

“Pada saat mencari nafkah secukupnya demi menunjang kehidupannya dan demi perawatan jiwa dan raganya,
seseorang yang terpelajar (pandita) wajib tinggal di tengah-tengah masyarakat tanpa terikat dengan berbagai masalah-masalah kekeluargaanya,
walaupun demikian,
secara eksternal ia terkesan terikat kepada keluarganya.”

6. Resi Narada melanjutkan sabdanya :

“Seorang yang cerdas yang hidup di tengah-tengah masyarakat seyogyanya merencanakan kehidupannya sehari-hari secara sederhana.
Seandainya ia mendapatkan berbagai masukan dan nasehat dari para sahabat, putra-putrinya,
orang tua,
saudara atau orang-orang lainnya,
ia wajib menyetujuinya secara eksternal, tetapi secara internal ia harus berketetapan untuk tidak menciptakan suatu kehidupan yang rumit,
karena kehidupan semacam itu tidak akan menghasilkan tujuan akan kehidupan ini.”

7.       
”Kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang bersifat alami diciptakan oleh Yang Maha Agung untuk seharusnya dipergunakan menunjang raga semua mahluk hidup. Terdapat tiga bentuk kebutuhan hidup ini. Yang diciptakan di langit (contoh : hujan, udara dan sebagainya),
yang diciptakan oleh bumi, (contoh : hasil bumi, hasil tambang, dan kelautan, dan sebagainya),
dan yang diciptakan di atmosfir (yang bisa didapatkan oleh seseorang tanpa terduga sebelumnya (contoh : keajaiban, nasib baik, keselamatan dan sebagainya).”

8.       
”Seseorang diperbolehkan untuk memiliki harta benda sesuai dengan kebutuhan jiwa dan raganya,
tetapi seseorang yang menginginkan lebih dari itu harus dianggap sebagai pencuri,
dan ia pantas dihukum oleh alam.”

9.       
”Seseorang wajib bersikap (penuh kasih sayang) terhadap fauna
seperti rusa, onta, keledai, kera, tikus, ular, burung dan lalat dan sebagainya.
Ibarat mereka ini adalah putra-putrinya. Sebenarnya hewan-hewan yang lugu ini tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil.”

10.    
”Walaupun seseorang itu statusnya kepala rumah tangga
dan bukan seorang Brahmachari
atau sanyasi
ataupun berstatus Vanaprastha,
ia seharusnya tidak berusaha sekuat tenaga demi agama,
demi pencarian harta benda (sebanyak mungkin)
ataupun demi pemuasan indra-indra tubuhnya.
Walaupun seseorang itu adalah kepala rumah tangga,
ia seharusnya puas dengan apa yang didapatkannya tanpa usaha yang menggebu-gebu demi pelestarian dan pemeliharaan jiwa raganya secara bersama-sama,
sesuai dengan tempat dan zaman ia berada,
dengan karunia Yang Maha Esa. Seseorang sebaiknya tidak mengikat dirinya dengan ugra karma. 

11.    
”Anjing,
orang yang hina
dan orang yang tak boleh disentuh termasuk candalas (pemakan anjing), semuanya ini wajib diperhatikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, semua kebutuhan ini seharusnya didana-puniakan oleh setiap kepala keluarga. Bahkan istri seseorang yang adalah ikatan yang terintim seseorang,
harus dipersembahkan demi pelayanan terhadap tamu,
masyarakat dan semua orang pada umumnya.”


12.    ”Ada orang-orang tertentu yang menganggap bahwa istrinya adalah miliknya pribadi yang tidak boleh dilibatkan atau diganggu-gugat, sehingga ia membunuh dirinya atau orang-orang lain demi istrinya ini, bahkan mampu membunuh orang tua dan gurunya spritualnya sendiri. Seandainya seseorang mampu melepaskan keterikatan dengan istri semacam ini, maka ia akan dapat “menguasai” Yang Maha Esa, Yang Tak Terkuasakan oleh siapapun juga.”

13.    ”Melalui budi dan upayanya yang selaras, seseorang seharusnya secara lambat-laun menanggalkan keterikatannya dengan raga istrinya karena raga tersebut secara pasti pada suatu saat kelak akan berubah menjadi cacing kermi, kotoran dan abu. Berapakah harga dari raga yang tak berarti ini ? Betapa lebih besar nilai Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih (pengisi) alam semesta ini, ibarat bentangan langit yang luas dan tanpa tepi ini ?

14.    ”Seseorang yang cerdas harus merasa puas dengan menyantap prashada (sesajen yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa) atau dengan melakukan lima bentuk yajna (Pancana-Suna). Dengan melakukan berbagai kegiatan ini, ia akan melepaskan keterikatan dari raganya dan dari hal-hal yang berhubungan dengan raga ini. Sewaktu seseorang ini mampu melaksanakan hal ini, maka secara tegar ia akan memasuki status sebagai seorang mahatma.”

15.    ”Setiap hari, ia wajib memuja ke Yang Maha agung yang bersemayam di dalam kalbunya, dan berdasarkan pemujaan ini, ia juga secara terpisah wajib memuja para dewa-dewi, para orang-orang suci, sesama manusia dan berbagai mahluk hidup lainnya, memuja leluhur dan Sang Jati Dirinya. Dengan cara ini ia akan mampu memuja Yang Maha Agung yang bersemayam di dalam lubuk kalbunya.”

16.    ”Sewaktu seseorang memiliki harta dan ilmu pengetahuan dan menjalankannya dengan penuh kendali, dan dengan kedua faktor tersebut ia mampu melaksanakan yajna atau memuaskan Tuhan Yang Maha Agung, maka seharusnya ia melaksanakan berbagai upacara yajna, agni-hotra-adina sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam berbagai sastra widhi. Dengan cara ini ia seharusnya memuja Tuhan Yang Maha Agung.”

17.    ”Tuhan Yang Maha Agung, Sri Kresna, adalah penikmat sesajen yang dipersembahkan. Namun walaupun Beliau menikmati persembahan melalui agni (api), wahai Raja yang kuhormati, Beliau lebih puas seandainya sesajen terbuat dari gandum-ganduman dan ghee (mentega murni) yang dipersembahkan kepadaNya melalui para Brahmana yang memenuhi syarat.”

18.    ”Selanjutnya, wahai raja yang kami hormati, persembahkan prashada (sesajen) ini kepada kaum Brahmana dan kepada para dewa, dan setelah mempersembahkan sesajen yang berharga ini dikau diperkenankan untuk membagi-bagikan prashada ini ke mahluk-mahluk hidup lainnya sesuai dengan kemampuanmu. Dengan cara ini dikau akan mampu memuja semua bentuk kehidupan atau dengan kata lain, dikau akan mampu memuja intisari agung yang bersemayam di dalam semua bentuk kehidupan ini.”

19.    ”Seorang Brahmana yang cukup berada wajib menghaturkan persembahan sewaktu rembulan berada pada posisi gelap (setiap 2 minggu), pada akhir bulan Bhadar. Dengan cara ini, ia wajib menghaturkan persembahan para sanak saudara (dari) leluhur pada saat upacara-upacara Mahalaya yang diselenggarakan pada bulan Asvina.”

20/23.“Seseorang wajib melaksanakan upacara sradha pada saat Makarasankranti (suatu hari di saat Sang Surya mulai bergerak ke utara) atau pada hari Karkata-Sankranti, yaitu hari sewaktu Sang Surya mulai bergerak ke arah selatan. Seseorang diharuskan melaksanakan upacara ini pada hari Mesa-Sankriti dan pada hari Tula-Sankranti; melalui yoga yang disebut Vyatipata; pada hari tersebut tiga tithis sang chandra bergabung, di saat gerhana bulan atau gerhana matahari; pada hari ke 12 (tahun rembulan); dan juga pada hari Sravana-Naksatra. Seseorang wajib melaksanakan upacara ini pada hari Aksaya-trtiya, pada hari kesembilan (tahun rembulan) di saat malam hari terasa terang pada bulan Kartika, pada empat astaka saat musim salju dan musim dingin, pada hari ketujuh (tahun rembulan) pada saat 14 hari dikala malam terasa terang pada bulan Maha; di saat rembulan bulat penuh; atau tidak bulat penuh; hari-hari dihubungkan dengan naksastras dari mana beberapa nama bulan ini berasal. Seseorang juga harus melakukan upacara sradha pada hari ke dua belas (rembulan) sewaktu saat tersebut berhubungan dengan salah satu naksastras yang disebut Anuradha, Sravana, Uttara-phalguni, Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Dan juga seseorang harus melaksanakan upacara ini pada saat hari kesebelas (rembulan) sedang bergabung dengan salah satu dari Uttara-phalguni,Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Terakhir, seseorang harus melaksanakan upacara ini pada hari-hari yang berhubungan dengan horoskop kelahirannya (Janma-naksatra) atau dengan Sravana-naksatra.”


24.    ”Semua waktu (saat) yang jatuh di berbagai musim dianggap amat sangat sakral dan bermanfaat untuk kemanusiaan. Pada saat-saat tersebut seseorang seharusnya melaksanakan semua jenis pekerjaan dan aktifitas-aktifitas yang bermanfaat dan suci sifatnya, karena dengan melaksanakan berbagai aktifitas tersebut seseorang dapat mencapai kesuksesan dalam masa kehidupannya yang singkat ini.”

 

25.    ”Pada saat-saat pergantian musim, seandainya seseorang mandi di sungai Gangga, di Yamuna atau di tempat-tempat sakral lainnya, seandainya seseorang menghaturkan puja, agni-hotra, atau melaksanakan nazar atau bila seseorang memuja Yang Maha Esa, para Brahmana, leluhur, para dewa dan semua mahluk hidup secara sama rata, apapun yang didana-puniakan (didermakan) akan menghasilkan pahala abadi yang amat bermanfaat.’

 

26.    ”Wahai Raja Yudhistira, pada saat-saat yang telah ditentukan untuk menyelenggarakan upacara-upacara ritual demi seseorang atau demi anak-istri, atau selama upacara-upacara kematian dan upacara pada hari kematian seseorang, maka diharuskan kepada seseorang untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut di atas yang bersifat sakral dan bermanfaat karena menghasilkan imbalan yang besar dalam bentuk pahala.”

27/28.Resi Narada melanjutkan sabda-sabdanya, “Sekarang akan kuterangkan mengenai tempat-tempat dimana pelaksanaan berbagai upacara agama sebaiknya dilakukan. Di setiap tempat di mana hadir seorang Vaisnawa (pemuja Vishu, Kresna Vasudewa, Narayana, Yang Maha Esa) adalah tempat yang terbaik untuk melaksanakan sesuatu aktifitas yang sakral dan bermanfaat. Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavata) adalah penunjang seisi alam semesta dengan seluruh ciptaan-ciptaan Beliau baik yang bergerak dan yang tidak bergerak, dan sebuah lokasi yang berisikan simbol / arca Yang Maha Kuasa dianggap sebagai sebuah tempat yang sakral. Lebih lanjut, lokasi-lokasi di mana para Brahmana yang terpelajar mempelajari prinsip-prinsip ajaran Veda berdasarkan ibadah-ibadah mereka, dan berdasarkan tujuan-tujuan mendidik dan kasih-sayang, adalah tempat yang amat bermanfaat dan sakral.”


29.    ” Lokasi-lokasi di mana berada kuil-kuil pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Kresna (Hari) adalah dianggap sakral, dan juga lokasi-lokasi di mana mengalir sungai-sungai suci yang disebut-sebut di berbagai pustaka Purana penunjang berbagai Veda. Sesuatu hal yang bersifat spritual seandainya dilaksanakan di tempat-tempat tersebut pastilah akan sangat bermanfaat.”


30/33.”Danau-danau sakral seperti Puskara dan berbagai tempat di mana para kaum suci pernah tinggal, seperti Kurusetra, Gaya, Prayaga, Pulaasrama, Naimisaranya, tepian sungai Phalgu, Setubhanda, Prabhasa, Dvarka, Varanasi, Mathura, Pampa, Bindu-sarovara, Badarikasrama (Narayanasrama), Berbagai tempat di mana sungai Nanda mengalir, berbagai lokasi di mana Prabu Ramachandra dan Bunda (Dewi) Shinta pernah singgah seperti Citrakuta, dan berbagai bukit yang terkenal seperti Mahendra dan Malaya............kesemua tempat-tempat suci ini dianggap sangat sakral (keramat). Juga di mana pun di dunia ini di mana simbol-simbol Hare (Yang Maha Kuasa) dipuja wajib dihormati dan dikunjungi dan boleh saja seseorang yang berkeyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di tempat tersebut memuja atau bertapa-brata disitu. Pemujaan dan kunjungan spritual pasti akan berdampak positif bagi mereka-mereka yang sedang meniti jalan spritual ke hadirat Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan pahala seribu kali lebih besar jika dibandingkan dengan pelaksanaan ritual yang sama yang dilaksanakan di tempat-tempat lainnya (yang bernuansa biasa).”

34.    ”Wahai Raja bumi ini, telah ditetapkan oleh para ahli, para cendekiawan yang piawai bahwasanya Hari Kresna Vasudewa adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang didalamNya semua ciptaan ini terkandung dan dariNya semua ini hadir, Beliau adalah Yang terbaik untuk dipuja dan dijadikan Tujuan bagi semua persembahan.”

 

35.    ”Wahai Raja Yudhistira, para dewa-dewi, para resi dan kaum suci yang agung termasuk keempat putra Sang Brahma dan aku secara pribadi hadir pada saat dikau menyelenggarakan upacara yajna Rajasuya, dan pada kejadian tersebut timbul pertanyaan (diantara yang hadir) siapakah yang pertama-tama harus dipuja, dan semua yang hadir memutuskan pemujaan pertama dipersembahkan kepada Sang Krishna, Yang Maha Esa.

36.    ”Seisi alam semesta ini yang penuh dengan berbagai mahluk hidup, adalah ibarat sebuah pohon yang akarnya adalah Sri Kresna yang disebut juga Acyuta. Jadi hanya dengan memujaNya saja sebenarnya semua mahluk hidup termasuk para dewa dan resi-resi agung sudah dipuja.”

 

37.    ”Yang Maha Esa (Anena = Dia) telah menciptakan berbagai tempat-tempat (purani) di mana Beliau dapat bersemayam seperti : raga manusia, fauna, burung, para kaum suci, para dewa-dewi, dan sebagainya. Di dalam semua raga yang tak terhitung jumlahnya ini, Beliau hadir sebagai Paramatma. Dengan demikian Beliau dikenal sebagai Purusavatara.

 

38.    ”Wahai raja Yudhistira, Sang Jati Diri (Jiwa Utama, Paramatma) yang bersemayam di setiap raga memberikan daya intelegensia (kekuatan budi) kepada setiap insan sesuai dengan kapasitas budi pekerti (pemahaman) individu tersebut. Oleh karena itu Sang Jati Diri adalah seorang pemimpin utama di dalam raga (setiap insan) yang bermanifestasi dan bersemayam di jiwa manusia dengan perkembangan komparatif pengetahuan usaha-usaha spritual dan berbagai karunia individu tersebut.”

 

39.    ”Wahai Raja yang kuhormati, sewaktu para resi dan kaum suci yang agung melihat cara-cara tidak terhormat pada permulaan Treta-Yuga, maka mereka-mereka ini lalu memperkenalkan pemujaan terhadap arca di dalam kuil-kuil dengan segala tata-caranya (ritual-ritualnya) .”


40.    ”Kadang-kadang seorang pemuja yang penuh dengan iman menghaturkan berbagai ritual-ritual pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dengan memuja arca dewa-dewa tertentu, tetapi pemuja ini sering iri hati (memandang rendah) kepada para pemuja Vishnu, maka Yang Maha Esa Tidak pernah merasa puas dengan pemujaannya.”

41.    ”Wahai Raja yang kuhormati, di antara semua insan, seorang Brahmana seharusnya diterima sebagai yang terbaik di tengah-tengah dunia yang serba bernuansa materi ini, karena Brahmana tersebut, dikarenakan oleh berbagai upaya spritualnya, pelajaran-pelajaran Vediknya, telah mencapai suatu bentuk keharmonisan (dengan Yang Maha Esa), ia kemudian ibaratnya telah menjadi salah satu instrumen dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.”

42.    ”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati, para Brahmana khususnya mereka yang selalu mengajarkan keagungan Yang Maha Kuasa ke seluruh penjuru dunia diakui dan dipuja oleh Yang Maha Kuasa, yang merupakan inti-jiwa dari semua ciptaan. Para Brahmana ini, dengan ajaran-ajaran mereka, mensucikan ketiga loka dengan daki (debu) yang melekat di kaki padma mereka, dan oleh karena itu mereka pun layak untuk dipuja oleh Sang Kresna (Yang Maha Penyayang).”




Dengan ini berakhirlah salah satu bab dari Bhagavata-Purana ini yang dikenal dengan judul : “Kehidupan Grhasta yang ideal”